Senin, 03 Agustus 2009

Retrospeksi : Wastukencana jam 1 Dini Hari

Beberapa minggu yang lalu, kebetulan saya bertugas untuk meliput sebuah acara musik di Bandung. Dan karena majalah tempat saya bekerja tidak mampu untuk menyediakan tempat menginap, maka kami pun memutuskan untuk pulang pada hari itu juga. Padahal, kalau boleh memilih, saya akan sangat senang untuk menghabiskan malam minggu di Bandung daripada menghabiskan malam minggu di kamar saya yang panas dan penuh dengan nyamuk di Jakarta.

Waktu sudah menunjukkan jam setengah 1 pagi ketika kami sampai disebuah travel di jalan Cihampelas. Yeahh.. jaman memang sudah berubah pikir saya. Jalan yang sangat terkenal di seantero nusantara itu tampak lengang dan sepi oleh kendaraan. Padahal dulu, sekitar 5-7 tahun yang lalu, di bagian penghujung jalan ini cukup ramai oleh wanita-wanita malam yang menjajakan diri.

Karena masih ada waktu sekitar 2 jam menjelang keberangkatan saya ke Jakarta, maka saya memutuskan untuk berjalan kaki mengunjungi ‘sebuah tempat’ dimana saya pernah ‘dibesarkan’. Sebuah tempat yang begitu banyak memberi kenangan yang tidak mungkin akan saya lupakan seumur hidup. Sebuah tempat, dimana saya bisa menemukan sedikit ‘kehangatan dan keceriaan’ untuk mengisi 2 jam waktu yang tersisa.
Yup, itu lah kampus saya yang bernama STDI, sebuah kampus kecil yang berdiri di pojokan perempatan jalan Cihampelas. Sebuah kampus kecil yang dipenuhi konflik dan intrik namun tetap asik. Hehe

Setibanya di tempat tujuan, saya hanya menemukan ‘se-onggok’ bangunan remang dengan gerbang yang terkunci tanpa ada seorang pun disana. “ Hey,. Ini kan malam minggu,.dan baru jam setengah 1 pagi?!? “kemana para penghuni kampus ini ?!? “ ujar saya dalam hati. Agak sebal karena keadaan yang ditemui tidak sesuai harapan, maka saya pun menyeberang jalan menuju Circle K dengan harapan semoga bisa menemui segelintir ‘bajingan-bajingan kampus itu’ disana.

Entah kapan bangunan Circle K ini berdiri. Setahu saya tempat itu dulunya adalah tempat pangkas rambut yang menjadi langganan saya. Tempat itu cukup ramai oleh anak muda yang sedang menikmati malam minggunya sambil bercengkrama bersama hadai taulan. Tak satupun dari mereka yang saya kenal. Karena merasa paras saya ‘terlalu matang’ dan asing untuk bergabung dengan mereka, maka saya mengambil tempat dipojokan sambil memandang bangunan kampus yang sepi itu sambil menikmati 2 botol bir bintang.

“KLAK !!” botol itu pun meleset dari cengkeraman gigi saya ketika saya mencoba untuk membukanya. Untung saja tidak mengenai gusi. ‘Ahh,. Padahal dulu saya sanggup membuka semua botol dengan menggunakan gigi” pikir saya sambil menghela nafas.
Setelah mencoba lagi, botol pun terbuka. Saya pun menikmati malam itu sambil melemparkan angan saya menuju beberapa tahun yang silam.

Perempatan Wastukencana 6 tahun yang lalu, jelas sangat berbeda dengan yang saya lihat sekarang. Dulu, lampu-lampu merah masih berdiri. Dulu, daerah ini adalah ‘daerah kekuasan’ kami, para mahasiswa STDI. Setiap malam minggu, kami membagi diri menjadi beberapa kelompok untuk mengamen, sekedar untuk mengumpulkan uang untuk perjalanan mendaki gunung, ataupun (lebih sering) untuk membeli vodka murah demi mengisi malam minggu kami. Mengisi malam minggu? Yeahh.. tapi entah kenapa, kebetulan kami semua pada saat itu memang tidak mempunyai pasangan.

Ada-ada saja kelakuan kami ketika sedang menenggak ‘gepengan’. Saya, Yopie, Jimi, Dajjal, Juki dan Markus seringkali tidak dapat jauh dari warung dan gitar. Berbagai lagu-lagu tembang kenangan pun sukses ’menghantar kami menuju’ pujaan hati nun jauh disana. Sementara, beberapa kawan lain seperti Dipa, Deffi, Ebreh, Erna, Dian, Anthony dll, lebih memilih untuk curhat,bermain karambol atau berjudi di ruangan HIMA yang berbau apek namun cukup nyaman. Angkatan dibawah kami, sebagian mengisi malam minggunya dengan bermain pingpong atau sepak bola. ( dalam keadaan mabuk tentu saja).
Pernah suatu kali, karena keadaan ‘sudah sedemikian kompleks nya’ , Agung,Ponto, Adi dkk mematah-matahkan bangku kayu property kampus untuk dijadikan kayu bakar. Sementara a’a kumis sang empunya warung, berinisiatif mengambil dandang dan nasi untuk membuat nasi liwet. Haha.. Cukup romantis bukan??

Ada pula kisah lain yang tidak kalah ‘romantis’. Saya teringat, pada era dimana permainan skateboard pernah menjadi begitu popular diseantero Bandung. Sepanjang hari, David, Jepe, Ponto,Aldo,Cahyo dkk dengan lihai meluncur-luncur dengan papannya. Saya dan kawan-kawan pun tidak mau ketinggalan (tentu saja !!). Namun karena kurang rasa percaya diri, kami memutuskan untuk berlatih mengendarai papan beroda ini di waktu malam. Dengan perlengkapan yang samasekali tidak memadai, kebanyakan dari kami hanya menggunakan sandal jepit, (bahkan pernah ada yang memakai sarung), maka tak jarang ‘latihan’ kami menjadi ajang unjuk kebolehan berparodi yang memang cukup menghibur. Oiya, kami menamai diri kami dengan sebutan ‘ Kelas Kambing’.

Entah karena tidak populer atau kurang promosi, kampus kami pun hanya diisi dengan sedikit mahasiswa. Jumlah mahasiswa yang sedikit itu tidak sepenuhnya membawa dampak yang negatif (terutama bagi kami mahasiswa). Setidaknya, tidak ada orang yang tidak terkenal disana. Dari ‘senior menahun’ sampai junior-junior yang masih hijau, semua menjadi bintang di kampus. Semua terkenal !!

Dan tentu saja, sebagaimana layaknya sebuah kehidupan di bangku perkuliahan, tak jarang dipenuhi oleh berbagai kisah cinta dari para mahasiswanya. Mungkin sudah takdirnya, bahwa percintaan adalah sebuah bahan gosip dan pergunjingan yang tidak pernah habis untuk dikupas bagai layaknya sebuah tayangan infotainment.
Dikarenakan oleh jumlah mahasiswa yang sedikit, maka hampir tidak ada hubungan cinta yang tidak terdeteksi oleh kami. Dan tentu saja, mulai dari anak biker gondrong bertato sangar seperti Erick Joshua sampai penunggu ruang computer yang baik hati seperti Pak Hartanto, semuanya bisa dibilang adalah tergolong sebagai penggosip.

Bicara tentang masalah percintaan, tentu saja saya tidak dapat melupakan sebuah nama yang pada jamannya adalah seorang bintang kampus yang menjadi pusat perhatian di seantero STDI. Yup! Suryani Yunita. Siapa yang tidak kenal dengan mojang priangan ini? Sosok molek berambut panjang ini sukses membuat banyak pria STDI jatuh hati kepadanya (Termasuk saya tentunya! Haha). Pernah suatu kali, tanpa sengaja, kami mendapati nomor telepon Nita (begitu panggilannya), tertulis dengan pinsil di dinding kamar Yopie. ( nomornya 6020552 kalau saya tidak salah?? :p) Alhasil, saya, Jimi, Nando, Richie,Dajjal,Lulu dan puluhan pria-pria STDI lain pun patah hati. Namun, apakah Yopie, menuai kesuksesan dengan Nita? Tentu saja tidak !! Ternyata, Suryani Yunita, wanita yang begitu di puja-puja, tak disangka telah bertunangan oleh seorang bernama Adam! Dan semua pria yang memujanya hanya bisa menggigit jari mengelus dada ketika mengetahui kabar pertunangannya. Hahaha

Begitu banyak cerita cinta mengharukan yang terjadi di kampus mungil itu. Mulai dari kisah Ateng yang terpaksa harus mengelus dada akibat usaha ‘peminjaman tas’ nya gagal ditengah jalan, asal muasal kata jebot,sampai sebuah kisah yang mengharukan dari seorang wanita yang menangis karena cinta dipinggir jalan dengan ditemani seekor kambing dan masih ribuan kisah-kisah cinta lain yang tidak sanggup diungkapkan dengan tulisan ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 2 pagi. Masih ada waktu satu jam lagi untuk menikmati malam nostalgia ini pikir saya. “ A, minjem korek na ‘a ? “ Tiba-tiba sebuah suara sember memecah lamunan saya, seorang remaja tanggung setengah teler meminjam korek api kepada saya. Setelah berhasil menyalakan rokoknya, sang remaja itu pun berjalan terhuyung menuju mobilnya, dan memutar lagu Kuburan keras-keras. “ Cee A minor..De minor ke Geee..ke Ce lagii..dst dst..” Keparat!! Mengganggu saja!! Umpat saya dalam hati! Kuburan adalah sebuah band parodi yang kini tengah naik daun. Dengan gaya panggung yang maksimal disertai dengan banyolan-banyolan konyol, kini berhasil mencuri perhatian serta menuai kesuksesan dari industri musik tanah air.

“ Ah.. kuburan..” gumam saya sambil membakar sebatang rokok, dan saya pun kembali melayang ke zaman ketika saya masih aktif bermain musik di sebuah band.

PPH ( Pasukan Patah Hati) adalah sebuah grup band fenomenal sekaligus misterius yang boleh dikata cukup menuai sukses dalam setiap penampilannya.Pada awalnya, (sebelum bernama PPH), band ini hanyalah terdiri dari sekumpulan anak-anak tingkat pertama yang kebetulan senang bermain musik. Disana ada Oktaviyadi (sekarang menjadi polisi di Solo) sebagai gitaris, Ada Agus pada vokal dan Cahyo ompong pada harmonika. Sebenarnya, dulu lagu-lagu kami sedikit lebih bernuansa politis (mengingat sebagian dari kami tergabung dalam FKMB ).
Setelah beberapa kali berganti pemain, formasi akhir dari band ini terdiri oleh Yopie dan Juki sebagai vocalist, Richie dan saya sebagai gitarist, Jimi sebagai pembetot senar-senar bass serta Dajjal sebagai penggebuk drum, PPH pun cukup berhasil menyihir para penonton di setiap ajang bermusik di kampus itu.
Nomor-nomor andalan seperti, Surat Cinta Pertama, Pesta Dansa, Hip-hip Hura-hura dll yang merupakan lagu-lagu hits era 80an, dirombak ulang dengan nuansa ‘melodic’ yang cukup kental. Tak ketinggalan, PPH pun turut menyisipkan lagu-lagu daerah di tiap penampilannya. Lagu ‘Sageru Manis’ yang berasal dari tanah Maluku, kerap kali dijadikan sebagai encore sekaligus trade mark andalan disetiap penghujung penampilannya yang biasanya diakhiri dengan kekacauan.
Sukses berkirpah di blantika musik kampus, PPH pun mencoba melebarkan sayapnya dengan mengikuti berbagai festival. Namun sayangnya, impian itu tidak pernah tercapai karena selain kami selalu ‘disibukkan’ oleh kegiatan kuliah, kami pun selalu gagal pada tahap audisi awal. hehe

Asal muasal nama PPH berawal dari sebuah pertandingan futsal di kampus. Kelompok ‘pengamen kesepian’ (yang saya ceritakan di atas), sepakat untuk membentuk sebuah tim sepak bola yang bernama PASUPATI, dan kemudian bertransformasi menjadi Pasukan Patah Hati yang disingkat PPH. Terdiri dari Jimi,Yopie, Juki, Anthony,Dajjal, Markus dan saya. Uniknya, dalam permainan, kami tidak punya strategi khusus. Kami bisa saja sama-sama bertahan tanpa ada penyerang, ataupun kami bisa saja sama-sama menyerang tanpa ada yang menjaga gawang.
Memang tim kami sangat kurang dari segi teknis. Namun, dari segi kekompakan, semangat, serta ( tentu saja) penampilan, kami tidak kalah oleh tim-tim lainnya. Alhasil, setelah melewati berbagai pertarungan yang sengit dan berdarah-darah, tim kami pun berhasil menggondol gelar juara 1 !
Setelah pertandingan, nama PPH semakin dikenal di seluruh penjuru kampus. Dan tanpa disadari, PPH menjadi semacam ‘organisasi’ atau kumpulan yang tak berstruktur yang bergerak aktif disegala lini kehidupan perkuliahan. PPH pun akhirnya membentuk grup musik dan mempunyai semacam ‘underbow’ di divisi seni rupa yang kemudian dikenal dengan nama Kelompok Dimabuk Asmara. Yeahh.. lagi-lagi urusan alkohol dipadukan dengan cinta dan patah hati berhasil menjadi inspirasi kami dalam merengguk sukses maupun malapetaka.

Selain tergabung dalam kelompok musik, sepak bola dan seni rupa, kami pun aktif sebagai mahasiswa pecinta alam. Mapala Cruiser namanya. Walaupun sebagian besar diantara kami minim oleh pengalaman dan teknik survival, namun itu tidak menurunkan animo kami untuk mencintai alam. Cukup banyak perjalanan yang kami lakukan waktu itu antara lain, mendaki gunung Gede, Ceremai,Burangrang,Merapi bahkan sampai menyusuri pantai di kawasan Pameungpeuk, Garut.

Saya sendiri bukanlah tergolong anggota mapala yang baik. Saya tidak terlalu antusias untuk naik ke gunung. Sebab saya berpegang pada sebuah prinsip yang saya junjung semenjak duduk di bangku SMA bahwa, “manusia sudah seyogyanya hidup di kota, apabila dia hidup di gunung, sudah tentu badannya akan dipenuhi bulu “
Memang sebuah prinsip yang terdengar tolol. Tapi itu bukan berarti saya tidak punya pengalaman menarik semasa menjadi anggota mapala.

Bangunan itu masih saja senyap tanpa terlihat kehadiran seorang pun disana. Begitu banyak kisah yang terjadi di tempat mungil itu. Begitu banyak pengalaman yang saya dapatkan ketika berada disana. Pengalaman – pengalaman hidup yang otomatis membentuk karakter dan kepribadian saya sekarang.


Udara malam itu semakin dingin. Waktu sudah menunjukkan jam setengah 3 pagi. Sebentar lagi saya harus kembali menuju realita yang bernama Jakarta. Realita yang dipenuhi dengan rutinitas menjemukan dan berbagai targetan serta deadline. Sebuah realita dimana orang-orang berlomba-lomba untuk tampil maksimal dengan penuh kepura-puraan dan basa-basi. ‘Ahh.. saya rindu dengan romantisme kesederhanaan dan kejujuran yang dulu pernah saya rasakan di tempat itu’ ujar saya di hati, seraya menghabiskan botol terahir.

Perempatan Cihampelas- Wastukencana sudah benar-benar sunyi, hanya ada satu-dua mobil yang melintas. Perlahan saya beranjak pulang, sambil mendendangkan lagu “Sageru Manis” sebagai encore malam itu..


Jakarta 030809

Agan Harahap