Jumat, 18 Januari 2013

Melewati Banjir Dengan Senyuman




SMS Mama kemarin pagi : "Agan, air sudah masuk di kamar mama dan kamar anak-anak"

Di luar hujan masih turun dengan deras. Saya yang baru bangun tidur, langsung bersiap-siap untuk menuju rumah mama. Menurut info yang diunggah berbagai media via twitter pagi itu, sudah ada beberapa ruas jalan seperti di Thamrin, Monas, Manggarai dan beberapa titik di Jakarta Barat yang sudah tergenang air.
Tapi belum satupun yang memberitakan tentang kondisi di seputaran Kemayoran. "Ah, masih bisalah naik taxi kesana" pikir saya saat itu.

Jam setengah 9 pagi dari apartemen lt.30 tempat tinggal saya.
Saya tinggal di lantai 30 di sebuah apartemen di bilangan Kemayoran. Tinggal di ketinggian seperti ini kadang membuat saya semacam terisolir dari keadaan sekitar. Sesampainya di bawah, daerah seputar apartemen saya sudah rata dengan air. Keadaanpun bisa dibilang cukup sepi. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Tidak ada satupun kendaraan yang melintas. Apalagi ojek atau bajay yang biasa jadi kendaraan saya sehari-hari. " Hmm.. nampaknya saya harus berjalan kaki sampai menemukan kendaraan" pikir saya saat itu.
Segera saya bergegas kembali ke atas untuk mempersiapkan 'peralatan tempur' guna menerjang banjir menuju ke rumah mama. Pakaian ganti, dompet, handphone, kamera, sendal serta beberapa barang lain saya masukkan ke dalam kantong plastik. Dan dengan bertelanjang kaki, saya pergi menerjang banjir.
Udara yang dingin dan hujan yang bertiup kencang sebenarnya membuat saya malas. Namun apa boleh buat, janji adalah janji. Bagaimanapun saya harus pergi kesana.
Keluar dari gerbang apartemen, air sudah setinggi paha. Tampak sebuah mobil yang mati-matian berusaha menerjang banjir. Dan beberapa saat kemudian, mobil itu pun mati. Beberapa pengendara motor terlihat menuntun kendaraannya perlahan mengarungi air yang semakin tinggi.
" Mas, kalo mau ke arah Sunter itu lewat mana yaa?" Tanya seorang pengendara motor itu kepada saya sambil tersenyum.
"Wah, harus muter mas.. Karena kalo lewat terowongan pasti sudah tenggelam " ujar saya.
Memang dengan kondisi banjir dan hujan terus menerus seperti ini, tentu kita harus lebih memutar jalan untuk mencapai tujuan. Setelah berbasa-basi sebentar seputar banjir dan rute aman, mas-mas pengendara motor itupun mengucapkan terimakasih sambil tersenyum dan melanjutkan perjalanannya".
"Aneh, sudah motornya mogok, dan banjir sebesar ini, kok bisa-bisanya dia tersenyum seperti gak ada masalah apa-apa " pikir saya.

Dan setelah melintas beberapa meter, mobil ini pun mati
Kali Sunter yang sebentar lagi akan meluap

Saya terus berjalan dengan perlahan hingga akhirnya tiba di kali Sunter. Wow.. baru sekali ini saya melihat air kali sampai setinggi ini. Hujan masih terus mengguyur, sebentar lagi tentu kali ini akan meluap. Saya pun segera bergegas mempercepat langkah kaki demi menghemat waktu.
Saya sengaja masuk kampung guna mengambil jalan potong. Massa sudah banyak di pinggir jalan, saling bertukar info seputar banjir yang melanda jakarta pagi itu. Sebagian ruas jalan sudah di tutup. Pertanda jalan tersebut sudah tidak memungkinkan untuk di lewati kendaraan bermotor.
Beberapa mobil yang melintas, segera disoraki oleh warga yang berada dipinggir jalan agar memperlambat laju kendaraannya karena lintasan mobil itu menimbulkan ombak sehingga membuat air kembali masuk ke rumah mereka.

Sesampainya di pasar Sumur Batu, kemacetan mulai terjadi. Bunyi klakson dan derum mesin menambah keruh suasana pagi itu. Rupanya, banjir sudah menghadang di jalan depan. Beberapa mobil tampak mencoba memutar balik arah ditengah kesemerawutan lalu lintas itu. Sungguh pagi yang menakjubkan. Saya pun meneruskan perjalanan. Dan benar saja, ketika sampai di ujung jalan, air sudah mencapai ketinggian 40cm. Beberapa anak-anak sekolah tampak bermain-main dengan gembira. Sebagian menggoda kawan wanitanya dengan memercik-mercikkan air banjir ke arah mereka.

Pemandangan khas dikala banjir 
Anak-anak terpaksa dipulangkan karena sekolah mereka tergenang banjir

Melewati Pasar Sumur Batu, saya terus masuk ke arah Kodam guna memotong jalan sehingga langsung menuju By Pass. Di daerah Kodam, air juga tampak menggenang. Namun di daerah sini nuansanya lebih ceria. Warga saling bercanda satu sama lain. Beberapa nampak memanfaatkan banjir untuk mencuci motor dan perabotan.
Bagi anak-anak, banjir merupakan sebuah wahana rekreasi baru. Mereka nampak berenang dan bermain air dengan penuh sukacita tanpa memikirkan beban orang tuanya yang masih harus mengepel dan membersihkan lumpur yang mengendap.
2 tahun yang lalu, saya pernah tinggal di daerah ini. Daerah yang padat penduduk namun masih terbilang asri dan menyenangkan.

Saya teringat sebuah kejadian ketika banjir melanda Jakarta 5 tahun yang lalu, ketika itu hari masih subuh sekitar pukul 3 dini hari. Waktu itu saya mabuk dan tertidur sampai-sampai saya tidak menyadari bahwa kamar saya sudah digenangi air. Waktu itu almarhum ayah beserta ibu dan adik saya marah sekali dengan kelakuan saya yang masih bisa lelap tertidur sementara mereka sudah bekerja keras mengangkat-angkat barang.
Ketika saya keluar kamar, rumah sudah porak-poranda. Dan tanpa sengaja, saya menemukan sebuah botol vodka yang sudah lama saya cari-cari dan ternyata memang sengaja disembunyikan oleh ibu saya. Pikir saya waktu itu, untuk apa heboh? Biarlah air masuk ke rumah, toh juga nanti akan kering sendiri.
Diam-diam saya mengambil botol itu dan pergi keluar untuk meninjau banjir sambil menikmati vodka itu. Alhasil, ketika hari sudah terang, saya pulang ke rumah dalam keadaan mabuk berat dan mereka marah sekali kepada saya sampai beberapa hari kedepan. Sungguh pengalaman banjir yang tidak mengenakkan.

Jalan Zambrud Raya, Kodam - Sumur Batu

Saya masih terus berjalan melewati komplek Kodam itu menuju ke arah Cempaka Mas.
Kaki saya mulai sakit karena sekian lama berjalan di dalam air. Kerikil dan sampah rasanya mulai menusuk-nusuk telapak kaki yang telanjang ini. Adapun alasan saya bertelanjang kaki adalah, supaya pergerakan saya lebih cepat ketika berada di dalam air ( walaupun sekarang saya menyesali tindakan itu).
Sesampainya di jalan Soeprapto, pemandangan luar biasa tampak di depan mata. Kali yang berada di depan Cempaka Mas sudah meluap dan menggenangi jalanan. Ratusan kendaraan milik warga komplek Kodam sengaja diparkir di tengah jalan raya supaya tidak terendam banjir. Sementara kendaraan-kendaraan lain yang memaksa melewati genangan air membunyikan klakson mereka. Wow. Sungguh keadaan yang menakjubkan.

Pengendara motor yang mencoba untuk melewati banjir.
Beberapa jam yang lalu, ini adalah sungai. Sekarang sudah tidak bisa dibedakan lagi dengan jalanan disebelahnya.

Sebetulnya banyak aktifitas warga yang menarik untuk di dokumentasikan, tapi sayangnya, saya tidak bisa berlama-lama berada disana. Hujan yang mulai turun lagi membuat saya harus segera bergegas melewati daerah itu. Ternyata kemacetan hanya terjadi sampai beberapa puluh meter kedepan. Karena genangan air sudah semakin tinggi dan semakin mustahil untuk bisa dilewati oleh kendaraan bermotor. Setibanya di ujung genangan, suasana berbeda langsung saya rasakan. Jalanan kosong dan sepi. Hanya ada beberapa pejalan kaki 'senasib' yang tampak berlari menuju tempat teduh. Hujan semakin turun dengan deras. Saya dengan setengah berlari mengambil posisi di tengah-tengah jalan besar menuju jembatan untuk sekedar berteduh dan beristirahat sejenak.

Di bawah jembatan layang, terlihat kekacauan baru. Ratusan kendaraan berhenti tidak bergerak.

Dua orang karyawan Cempaka Mas tampak bergegas mencari tempat berteduh.

Maju kena, mundur kena.
Di bawah jembatan layang perempatan Coca Cola sudah terjadi kekacuan baru. Ratusan kendaraan tampak tersendat disana. Sebagian besar kendaraan memang sengaja berhenti disitu untuk menghindari banjir, tapi saja ada kendaraan yang membunyikan klakson keras-keras memperkeruh suasana tetap ngotot memaksa melewati genangan air yang memang cukup tinggi. Seorang ibu yang tampak pasrah dengan keadaan, keluar dari mobilnya dan berfoto-foto dengan menggunakan blackberry nya. Sementara beberapa pengendara mobil lain tampak saling bercengkrama satu sama lain, berbincang mengenai kondisi banjir dan jalur laternatif.
Untuk kendaraan yang ingin menuju ke arah Rawamangun, terpaksa harus berdesak-desakan di jalur busway yang dipenuhi dengan ratusan motor yang mogok terendam air. Sementara di jalur biasa, air sudah menggenang hingga setinggi paha saya.

Di jalur kanan, jalanan tampak sepi. Karena genangan di depan Carefour Cempaka Putih terlalu mustahil untuk dilewati

Di jalur kiri, kendaraan diparkir berdesak-desakan di lintasan busway. Sementara jalan biasa genangan air sudah mencapai ketinggian pinggang orang dewasa.
Beberapa pemuda lokal, terlihat memaksa 'meminta sumbangan' kepada pengendara yang bersusah payah menerobos banjir. Sebagian lainnya, tampak membantu mendorong kendaraan yang mogok untuk sampai kedaerah yang cukup aman. Tentu saja, untuk urusan dorong mendorong ini, sang pengendara yang sial itu harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal.
Ditengah kondisi yang carut-marut seperti itu, saya cukup terhibur melihat kreatifitas warga dikala banjir melanda. Berbagai angkutan alternatif pun langsung tersedia. Beberapa orang nampak mendorong gerobak melintasi banjir  mengangkut motor untuk mencapai daerah yang bisa dilalui. Sementara anak-anak membuat rakit untuk bermain.
Tak lama berselang terdengar bunyi klakson dan deru mesin yang cukup keras. Terlihat sebuah mobil mewah 'berpelat hijau', tampak ngotot memaksa menerjang banjir. Di belakang kemudi, tampak laki-laki kekar berambut cepak dengan muka angkuh. Semua orang hanya terdiam saja melihat pemandangan itu. Dan setelah beberapa meter kedepan, mobil itu pun mati dan masa yang memang jengkel dengan kelakuan si supir, langsung menyorakinya. Benar juga kata kicauan kawan saya di twitter kemarin, seberapa bagus dan mewahnya kendaraan anda, semua sama dikala banjir.

Selain gerobak, delman juga termasuk kendaraan alternatif yang cukup ampuh dikala banjir.

anak-anak membuat rakit untuk mengarungi 'wisata banjir'




Saya terus berjalan melewati genangan air menyusuri bawah jembatan. Perut yang lapar, hujan lebat, serta medan yang cukup berat membuat fisik saya mulai melemah. Sesampainya di perempatan Pulo Mas, saya terhenti sejenak. Terbentang medan berat yang harus saya lalui. Ratusan kendaraan berjejer diparkir memenuhi sisi tengah jalan. Genangan air setinggi ban mobil yang berwarna cokelat bercampur lumpur, serta aspal yang dipenuhi kerikil rasanya sulit untuk saya lewati. Terlebih lagi dengan kondisi fisik yang lemas seperti ini.

Tidak seberapa jauh dari situ tampak tukang soto ayam yang masih buka. Langsung saja saya memesan satu porsi. Lumayan untuk menambah tenaga guna menempuh banjir yang luar biasa ini.
"Dari media yaa mas?" Tanya seorang bapak yang kebetulan sedang menyantap soto bersama saya.
Mungkin karena dia melihat kamera saya.
"Oh, enggak mas..Saya cuma hobi aja. Sekalian belajar-belajar lah.." . Jawab saya sambil tertawa.
Lalu perbincangan mengalir seputar kamera, media dan politik. Si bapak yang ternyata seorang supir pribadi, nampaknya cukup rajin mengikuti berita aktual yang terjadi.
"Rokok mas?" ujarnya sambil menyodorkan sebungkus Gudang Garam. Merasa tak enak, saya ambil  juga tawaran rokoknya dan obrolan terus berlanjut.
Setelah sebatang rokok habis, saya pun pamit sambil tidak lupa mengucapkan terimakasih.

Ditengah gerimis hujan dan banjir, semangkuk soto ayam yang panas serta percakan ringan tadi cukup memberi penghiburan dan semangat baru bagi saya untuk melanjutkan perjalanan.

Soto Ayam dikala banjir

Hujan memang sudah sedikit mereda, tapi genangan air belum juga surut. Perlahan saya menyusuri genangan air bercampur lumpur dan sampah dengan kaki yang mulai pincang. Kerikil yang terinjak kaki saya rasanya semakin menyakitkan. Saya hanya bisa berharap semoga saya tidak terenginjak paku, seng atau pecahan kaca yang mungkin saja berada dalam genangan yang kecokelatan air itu.

Kawasan Pulo Mas, sudah menjadi 'pelanggan tetap' ketika banjir melanda. Serupa dengan warga Kemayoran atau Sumur Batu dan beberapa titik 'pelanggan' banjir lainnya di Jakarta, masyarakat terlihat santai dan rileks. Mungkin saja karena mereka sudah terbiasa dalam menghadapi musibah ini. Kenyataan ini jauh berebeda dengan apa yang diberitakan oleh media. Media memberitakan seolah-olah bahwa keadaan Jakarta begitu genting dan mati akbiat banjir ini.
"Yah..memang mungkin Jakarta lumpuh sejenak, tapi tidak usah terlalu dibesar-besarkan lah..Toh juga bukan baru pertama kali ini Jakarta terendam air.." pikir saya sambil perlahan terus berjalan menyusuri banjir.

Memasuki daerah rumah mama, dibelakang Unija, jalanan semakin sulit di lewati karena memang ada bagian jalan yang memang tidak beraspal dan hanya ditutupi dengan batu saja. Berbagai sampah dan bangkai nampak mengapung, perlahan terbawa arus. Kaki saya rasanya sakit sekali, tapi saya memaksakan untuk terus berjalan karena memang jarak rumah sudah dekat.

Sampah-sampah yang cukup artistik : Aloe vera yang tercabut akibat banjir

Sampah-sampah yang cukup artistik : Plastik obat dengan tulisan "Semoga lekas sembuh"

Setelah sekitar 2 jam berjalan melintasi banjir  dengan kaki telanjang, akhirnya saya pun tiba di rumah.  Kedatangan saya langsung disambut dengan meriah oleh keponakan-keponakan saya yang masih kecil. Air sudah mulai surut, dan rumah nampak berantakan. Namun lumpur dan berbagai kotoran nampak masih menggenang di sudut-sudut rumah. Mama dengan dibantu oleh mbak Asih masih sibuk mengepel dan mengeringkan air. Saya pun dengan serta-merta langsung membantu mereka mengeluarkan air yang masih menggenangi kamar mama dan anak-anak.
Setelah itu, saya pun beristirahat sambil membaca berita-berita tentang banjir yang melanda ibukota.

Berbagai berita yang dikabarkan oleh media-media online siang itu, nampaknya terlalu provokatif dan  berlebihan. Ada-ada saja pemberitaan media siang itu.
Salah satu berita yang cukup membuat saya geram, adalah sebuah media yang sempat-sempatnya memberi tanggapan negatif tentang kunjungan Presiden SBY dan Wali kota Jokowi ke daerah-daerah banjir. Saya rasa, sudah sepantasnya Presiden dan Wali kota meninjau secara langsung dan mengetahui kondisi masyarakat dan pengungsi yang terkena musibah banjir. Dan toh saya percaya, blusukan-blusukan yang dilakukan para petinggi itu tidak hanya sekedar memberikan dukungan moral semata. Tapi pasti memberi bantuan yang lebih bersifat riil sehingga korban banjir yang dikunjungi itu merasa diperhatikan dan tertolong oleh kunjungan mereka.
Belum lagi soal komentar-komentar miring berbau rasis tentang buruknya kepemimpinan walikota yang baru menjabat kurang dari setengah tahun. Bagaimana mungkin musibah banjir yang kerap melanda ibukota dapat diselesaikan dalam waktu sebentar.
Tidak hanya itu, beberapa media juga memuat pernyataan dari seorang tokoh agama yang menyatakan bahwa banjir ini adalah kiriman dari Allah untuk mencuci segala kemaksiatan yang terjadi di Jakarta. Sungguh komentar yang tidak beralasan dan tidak masuk akal.
Sangat disayangkan bahwa ketika banjir melanda ibukota, masih ada saja media-media yang  bukannya memberitakan tentang hal-hal berguna guna kepentingan bersama, tapi justru malah memberitakan liputan-liputan bodoh yang memperkeruh suasana seperti itu.

Salah satu korban yang berhasil dievakuasi ketika banjir kemarin

Tapi, disamping pemberitaan-pemberitaan 'lebay' media-media itu, ada juga pemberitaan-pemberitaan yang menarik dan cukup menghibur. Kisah tentang buaya mati (walaupun itu biawak), yang mati terdampar di sebuah rumah entah dimana, sepasang anjing yang sedang 'memadu kasih' dikala banjir, seorang pria yang berdandan layaknya putri duyung yang berpose ditengah-tengah banjir, sampai puluhan foto-foto dan ratusan komentar-komentar jenaka yang beredar di lini masa.

Ada satu fakta menarik yang bisa saya petik ditengah banjir ini.
Penduduk Jakarta yang terkenal angkuh dan keras, dapat serta-merta tampak ramah dan murah senyum ketika dilanda musibah. Sepanjang perjalanan melewati banjir, kami kerap kali saling melempar senyuman dan bertegur sapa. Sungguh suatu hal yang jarang saya temui dalam keadaan normal. Kita dapat dengan mudah memberi bantuan kepada sesama, atau bahkan sekedar berbagi keceriaan dengan cerita/foto di berbagai jejaring sosial yang ada.
Bukannya kita tidak prihatin akan penderitaan dari sesama korban banjir, tapi inilah masyarakat kita. Ketika musibah menimpa, kita bisa tertawa sebab kita tidak tahu lagi apa yang bisa kita lakukan.

Alih-alih terprovokasi oleh pemberitaan media-media tadi, justru ada secercah rasa bangga yang menyelimuti saya. Bangga atas 'anugerah' untuk tetap bisa berbagi keceriaan dalam segala keadaan. Bangga menjadi bagian dari kota yang bisa dengan tersenyum menghadapi musibah ini. Dan bila besok, lusa, atau kapanpun Jakarta akan kembali tergenang banjir, saya yakin dan percaya,  bahwa kita, warga Jakarta dapat berjuang bersama-sama melewatinya sambil memberi senyum manis kepada sesama.


Agan Harahap









1 komentar:

  1. Indonesia (khususnya Jakarta) butuh "musuh bersama" untuk menyatukan kita sebagai "warga negara" dan "warga Jakarta." Kita memang tidak akan bisa menang melawan banjir, tapi setidaknya berkat banjir kita bisa merasakan sisi "bangsa yang ramah" dan sisi "gotong royong" dari Indonesia dan Jakarta. Mungkin sebaiknya kita ganti semboyan negara menjadi "Bersatu Karena Bencana", dan lagu menye-menye dari Ebiet G. Ade harus dijadikan lagu wajib di negara ini. Blah! Merdeka Tapi Mampus!

    BalasHapus