Rabu, 01 Mei 2013

[Still] In The Lap of The God


Empat belas tahun yang lalu, kami kami hanyalah sekumpulan pelajar remaja tanggung dengan berbagai obsesi dan ambisi. Perjumpa kami diawali pada pada tahun 1996 di sebuah sekolah di bilangan Senen, Jakarta Pusat. Sekolah itu bernama SMA 3 PSKD. Begitu banyak cerita yang terjadi selama 3 tahun kami menempuh hidup disana. Dan seperti remaja-remaja pada umumnya, pada saat itu kami adalah muda, beda dan berbahaya. Mulai dari kisah romansa yang berbunga-bunga, sampai pada kisah yang berdarah-darah hampir semuanya pernah dilalui. Dan tanpa disadari, pada masa-masa itulah watak dan mentalitas saya mulai terbentuk. Selepas kelulusan SMA, otomatis kami berpisah satu sama lain. Saya dan beberapa sahabat memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di luar kota. Sementara beberapa kawan memilih untuk menetap di Jakarta. Sekian belas tahun sudah berlalu, walau jarang bertemu, tapi (sayangnya) pertemanan kami tidak pernah berakhir.
Beberapa bulan yang lalu, sempat tersiar desas-desus bahwa salah satu kawan kami, Yesaya Sandang akan melangsungkan pernikahan. Dan sebagaimana yang sudah-sudah, kami tidak terlalu ambil pusing dengan desas-desus itu. Namun mendekati hari-H, desas-desus itu pun rupanya mendekati kebenaran. Dan setelah melalui perundingan yang berlarut-larut, maka kami memutuskan untuk pergi ke Salatiga untuk menghadiri pernikahannya.

Avanza hitam itu tampak bagai titik hitam yang melaju cepat menyusuri jalur Pantura. Rubein Novelino, seorang pemilik gerai toko handphone sekaligus pemilik mobil tampak dengan semangat dan cekatan mengemudikan mobil menyalip kendaraan-kendaraan lain. Andries sembiring, seorang wartawan media elektronik, tampak larut dalam lamunannya merenungi kisah cintanya yang dirundung nestapa. Sementara Mark Cyrus Taihitu, seorang kawan kami yang paling kekar yang kini bekerja sebagai 'penanggung jawab moral' di sebuah panti pijat di Jakarta Selatan duduk diam disebelahnya sambil sesekali bergumam pelan menyanyikan lagu-lagu Cherry Belle. Sementara saya yang mengambil posisi di sebelah kemudi hanya memohon kepada Yang Maha Kuasa agar kami semua ditibakan dengan selamat sampai di tujuan.
Namun laju kencang avanza itu tidak berlangsung lama. Karena kami sebentar-sebentar harus berhenti untuk merokok. Maklum, sang empunya mobil tidak mengizinkan kami untuk merokok di dalam mobilnya. Kurang lebih 12 jam waktu yang dibutuhkan untuk kami sampai di Salatiga. Memang, apabila ingin menghemat waktu, ada baiknya kami naik kendaraan umum. Tapi kami memutuskan untuk naik kendaraan pribadi karena alangkah menyenangkannya untuk berkumpul bersama sahabat-sahabat lama dalam sebuah perjalanan jauh.
Udara dingin dan senyuman Yesaya yang menyeringai menyambut kami di Salatiga. Waktu menunjukkan pukul 1 dini hari. Alih-alih beristirahat karena perjalanan yang cukup melelahkan, ternyata sang tuan rumah sudah siap menyambut kedatangan kami. Satu krat bir bintang, dan beberapa guyonan lawas cukup membawa 'hawa panas' pada dini hari yang sejuk itu.

Keesokan harinya, adalah hari yang ditunggu-tunggu. Namun kami tidak ambil pusing. Dengan ditemani oleh Eddy, seorang karyawan UKSW yang dipercayakan untuk 'mengawal' kami di Salatiga, kamipun memutuskan untuk pergi berwisata di kota mungil itu. Hari menjelang sore ketika kami kembali ke penginapan. Semua orang nampak sudah rapih berdandan untuk menghadiri pemberkatan pernikahan. Tidak seperti yang lain, kami tetap saja santai menikmati beberapa kaleng bir sisa semalam sambil bercanda. Menjelang dimulainya pemberkatan, kami pun baru bersiap-siap dan berjalan memasuki gereja yang notabene masih satu kompleks dengan penginapan kami. Saya memang tidak begitu suka dengan seremonial. Maka dari itu saya tidak mengikuti prosesi dengan baik. Namun intinya, pemberkatan itu berjalan dengan singkat, padat dan seksama. Tidak lama kemudian, acara dilanjutkan dengan resepsi. Banyak handai taulan mempelai yang datang memberi ucapan selamat. Karena tidak ada yang dikenali, maka saya pun menyibukkan diri dengan kamera saya. dan keceriaanpun berlanjut sampai malam menjelang.


Keesokan harinya, keceriaan sudah usai. Kini saatnya untuk pulang untuk kembali melanjutkan hidup kami masing-masing. Avanza hitam itu melaju perlahan menuju jalur selatan. Saya yang memang dalam kondisi tidak fit, memilih untuk duduk di bangku belakang. Sementara Mark Cyrus menggantikan posisi saya di depan untuk menemani Rubein.
Jalur selatan tidak sama seperti jalur Pantura. Jalanan yang berbukit-bukit dan berkelok-kelok membuat saya mual. Perjalanan itu diisi dengan berbagai obrolan tentang kehidupan yang cukup mengharukan. Rubein bercerita tentang harga handphone nexian yang meroket seiring naiknya harga bawang merah. Cyrus yang duduk di sebelahnya berbagi impiannya dalam merintis usaha salon anjing pertama di Jalan Jakasa. Andries yang duduk di sebelah saya tampak sibuk memantau berita ternkini tentang kasus Eyang Subur sambil sesekali bercerita tentang kedekatannya dengan Arya Wiguna. Maklumlah.. Namanya juga wartawan. Sementara saya memilih untuk diam dan menutup mata seraya menahan rasa mual yang semakin menjadi-jadi. 

Saya tidak begitu tahu persis akan apa yang terjadi. Tiba-tiba saja terjadi guncangan hebat disertai dengan bunyi yang sangat keras dan kendaraan pun terhenti. Segala rasa mual yang sejak tadi menghantui mendadak sirna seketika. Rupanya mobil kami bertabrakan dengan sebuah sepeda motor. Beberapa meter di depan kami, tampak seorang pengendara motor yang tergeletak tak berdaya. Untungnya kami langsung bisa menguasai keadaan. Rubein yang awalnya tampak panik dan berkaca-kaca langsung dapat menenangkan diri. Kami dengan dibantu oleh beberapa pengguna jalan yang lain langsung dengan sigap memindahkan korban dan motornya ke tepi jalan. Tak lama berselang, polisi pun datang untuk mengamankan keadaan. Dan kami pun langsung membagi tugas. Rubein dan Andries tetap di lokasi kejadian untuk berurusan dengan polisi, sementara saya dan Cyrus bertugas untuk mengurus korban.


Selang beberapa menit kemudian, saya sudah berada dalam mobil polisi yang melaju sangat kencang menuju RSU Temanggung. Karena kendala teknis, maka Cyrus tidak bisa menemani saya menuju rumah sakit. Di mobil itu hanya ada saya, seorang polisi yang sibuk mengemudikan kendaraannya dan si korban. Untuk pertama kalinya saya terpukau dengan kecakapan polisi dalam berkendara.
 "Mas, coba dulu dicek itu masih hidup apa sudah mati!! " Teriak polisi itu kepada saya. Sang korban tampak tergeletak berdarah-darah tidak bergerak di bangku belakang. "Mas,.. Mas.. Bangun mas.." ucap saya berulang kali sambil menampar-nampar pipinya. Namun sang korban tetap tidak memberikan respon yang berarti.
Instalasi Gawat Darurat RSU Temanggung yang tadinya sepi mendadak ramai ketika kami sampai disana. Perawat-perawat berhamburan keluar dan langsung membawa korban menuju ruang periksa.

Patah tulang, geger otak ringan ditambah beberapa puluh jahitan

Sang korban bernama Susilo. Seorang remaja berusia 19 tahun yang tidak memiliki SIM. Setelah menjalani pemeriksaan, dokter menyatakan bahwa Susilo mengalami patah tangan di dua bagian. Dan luka-luka ringan di beberapa bagian tubuhnya. Korban tetap tidak sadarkan diri sementara pihak RS masih harus menunggu keluarga korban untuk tindakan lebih lanjut. Cukup ama juga saya berada dalam situasi yang tidak menentu seperti itu. Tapi kecemasan saya mulai agak berkurang ketika dokter memastikan bahwa tidak ada cedera serius yang dialami sang korban. Saya tidak habis pikir, luka di kaki dengan sekian puluh jahitan masih tergolong luka ringan rupanya..
Beberapa jam kemudian tampak sebuah mobil pickup datang memasuki halaman IGD. Rupanya kawan-kawan saya sudah datang dan bergabung bersama saya. Polisi langsung masuk kedalam ruang periksa untuk mendata. Susilo yang baru siuman dari 'tidur lelapnya' nampak masih linglung menghadapi realita yang ada. Mungkin karena disebabkan oleh benturan di kepala yang cukup hebat, maka sang korban pun tampak meracau ketika ditanyai oleh polisi.
Waktu terus berjalan, dan pihak keluarga korban belum juga datang sementara kondisi fisik kami sudah sangat lelah. Polisi menawarkan untuk mengantar kami ke hotel dan melanjutkan perkara ini keesokan hari. Kami yang sudah lelah langsung saja meng-iyakan tawaran polisi itu.

Saya dan Cyrus memilih untuk duduk di belakang mobil polisi seraya menikmati udara malam kota Temanggung

Tur singkat kota Temanggung bersama yang berwajib
Secarik kertas tanda mata

Sesampainya di hotel, saya dan Rubein memutuskan untuk pergi mencari makan karena Rubein  percaya, bahwa tidur dengan perut yang lapar bisa membawa nasib buruk di keesokan harinya. Kami duduk di warung dengan tidak banyak bicara. Saya disibukkan dengan membalas whatsapp dari kekasih dan Rubein tampak melamun sambil sesekali mengunyah indomi. Tiba-tiba telpon berdering. Polisi mengatakan bahwa kami harus segera menghadap karena pihak keluarga korban sudah datang. Kami bergegas menyelesaikan makan dan langsung berjalan kaki menuju kantor polisi.
Sesampainya di kantor polisi, tampak orang tua Susilo beserta seorang kerabat yang mendampinginya. Kami langsung iba ketika melihat keberadaan si bapak. Setelah berbincang-bincang, ternyata orang tua Susilo hanyalah seorang buruh tani yang kesehariannya memotong bambu. Pihak kepolisian dengan santun dan bijaksana menjelaskan duduk perkara yang terjadi di sore naas itu. Setelah sekian jam berbincang dan berunding akhirnya tercapailah kata mufakat. Kami kembali berjalan kaki untuk pulang menuju ke hotel, karena besok pagi kami akan melanjutkan perjalanan menuju Jogja dengan menggunakan mobil derek.
Setibanya di hotel, badan yang sudah lelah ini tidak dapat beristirahat dengan tenang. Pikiran kami masih berkecamuk akan pengalaman yang menimpa sore tadi. Andries dan Cyrus yang tetap tinggal di hotel pun ternyata masih terjaga menunggu kedatangan kami sambil bertukar cerita tentang Eyang Sigit, murid eyang Subur yang kini ikut-ikutan melawan Adi Bing Slamet.
Keesokan harinya matahari masih memamerkan kedigdayaannya. Kami hanya bisa duduk merenung dan terdiam di atas mobil derek yang membawa kami menuju Jogja. Sebetulnya perjalanan antara Temanggung-Jogja tidak terlalu jauh. Mungkin bisa ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam saja. Tapi karena mobil derek itu berjalan pelan dan sesekali berhenti, maka kami baru sampai di Jogja sekitar pukul 8 malam.
Kami tidak bisa berlama-lama di Jogja karena esok hari, kami masih harus kembali ke Jakarta guna mengejar segala ketinggalan yang tertunda akibat kejadian itu.

Sebetulnya tulisan ini sudah mulai saya buat sekitar 4 hari yang lalu. Tapi saya tetap tidak bisa merangkai kata-kata untuk menyelesaikan tulisan ini. Beberapa jam sebelum saya memposting tulisan ini, seorang kawan saya dari HKBP Soeprapto, Julifin Sianturi menelpon saya memberitakan bahwa kawan kami Mangaliat Wira Simbolon telah berpulang. Sungguh tidak terduga, Wira yang periang dan tampak sehat wal'afiat tiba-tiba saja dipanggil pulang ke rumah Bapa di surga.

Dan tiba-tiba saya mendapat ide untuk mengakhiri jurnal ini.

Setiba di Jakarta dan berbagi cerita tentang pengalaman kami di Salatiga dan Temanggung, beberapa kerabat menanyakan apakah ada hal-hal buruk yang kami lakukan sebelum kecelakaan itu terjadi. Mereka mencoba menghubung-hubungkan keterkaitan satu peristiwa dan peristiwa lainnya.
Sebagai seorang realis, terkadang saya tidak mau berkompromi dengan keadaan pasrah dan menerima karma, nasib, firasat atau apapun yang di luar pemahaman saya. Walaupun ada hal-hal yang terjadi di luar perkiraan dan pemikiran saya, buat saya kesemuanya itu sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. ( hehehe saya memang seorang realis, tapi ketika dilanda musibah saya bisa menjelma menjadi seorang yang sangat religius).

Suka, duka, perkawinan, kecelakaan, kelahiran dan kematian semua dapat kita perkirakan. Namun apa yang terjadi di kemudian nanti, tentu itu berada dalam ranah logika Tuhan. Bukan logika kita.
Sebagai manusia yang berakal, kita bisa saja berencana, memperkirakan atau menduga-duga. Namun apabila kejadian yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan dan perkirakan, ada baiknya kita syukuri, relakan dan menembalikan semuanya kepada Sang Khalik.

Kepada sahabat saya Yesaya Sandang dan istri, sekali lagi saya ucapkan selamat menempuh mahligai bahtera rumah tangga. Tetap merendahkan diri di bawah tangan Tuhan dan selalu menyerahkan segala kekhawatiran kalian kepadaNya, sebab Dialah yang akan memelihara kalian sampai selama-lamanya. Amen.

Syalabalabalabalabalabalaba..dst..dst.. hahaha

1 Petrus 5:7 “ Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.”