Minggu, 21 Desember 2014

Ready Or Not Here I Come!



-->
Sebuah tulisan dari seorang sahabat baik tentang serial foto saya terdahulu.


Apa yang dilakukan oleh Agan Harahap kali ini adalah fotografi sebenar-benarnya. Setelah beberapa seri karyanya ia bereksplorasi tanpa atau dengan sangat minim melakukan pekerjaan memotret, kali ini ia hadir dengan kamera dan lampu studio. Namun Agan tetap konsisten pada jalurnya, yang saya sebut sebagai komedi satir fotografi.
Yang dihadirkan Agan kali ini adalah hasil eksplorasinya selama menjadi fotografer di sebuah majalah musik. Selama enam tahun bekerja sebagai seorang fotografer majalah ia berkesempatan untuk memotret baik artis papan atas, papan tengah, papan bawah, maupun artis yang memaksa untuk masuk papan. Sebagai fotografer ia mempunyai kekuasaan penuh untuk mengatur bagaimana hasil foto itu nantinya. Memang disana ada peran stylist, make up artist, dan asisten fotografer. Tetapi bagian mereka adalah para model, sang selebritis. Sang fotograferlah yang berkuasa atas kamera dan hasil fotonya. Dan selama rentang waktu enam tahun, Agan seperti sudah memahami bagaimana pakem-pakem agar sebuah foto dapat dimuat dalam majalah tersebut. Dengan sendirinya timbul sebuah standarisasi bagaimana ‘seharusnya’ sebuah foto itu layak untuk diterbitkan.
Mungkin banyak orang akan bertanya-tanya, dimanakah kekuatan sebuah karya foto artis terkenal ketika semua fotografer dan media sebenarnya sudah mampu untuk membuat karya yang sejenis. Kita dapat menemukan dengan mudah foto-foto selebritis di media massa. Kita sudah tidak asing lagi dengan wajah-wajah artis, penyanyi, model terkenal itu. Lalu apa keistimewaan serial ini dibandingkan dengan karya fotografer lain?
Seri Agan kali ini bisa dibilang istimewa karena sang fotografer berani untuk publish the unpblished. Anda tidak akan menemukan foto-foto dari artis yang sama dengan keadaan yang “dicuri” Agan pada karyanya kali ini. Ya, disini Agan seakan-akan ‘mencuri’. Ia mencuri pose, mencuri momen, dan mencuri kesempatan. Foto-foto ini bukanlah suatu ketidaksengajaan. Foto-foto ini lebih merupakan ‘tembakan peringatan’ yang dilakukan oleh fotografer untuk menandai dimulainya sebuah sesi pemotretan. Ini adalah foto-foto yang menurut ‘standar’ penerbitan majalah atau media tidak layak untuk dipublikasikan.
Tidak hanya mencuri momen dan kesempatan, Agan juga mencuri mimik dan gesture dari sang selebritis. Tidak usah repot-repot untuk menginterpretasikan mimik atau gesture dalam karya ini melalui analisis semiotika ala Roland Barthes, Ferdinand de Saussure, atau para pakar semiotik media visual lainnya. Silakan Anda menjadi pakar untuk diri Anda sendiri dalam menginterpretasikan karya ini. Interpretasi saya adalah seperti yang sudah dituliskan di atas, karya foto ini adalah ‘tembakan peringatan’ dari sang fotografer kepada model atau selebritis yang sedang dibidiknya.

Apa yang dihasilkan dari tembakan peringatan ini ternyata luar biasa dan mencengangkan. Anda tidak akan menemukan foto-foto dengan model atau selebritis yang sama di media manapun dengan pose, mimik, gesture pada karya foto Agan. Eksklusif. Namun sekali lagi ini bukanlah ketidaksengajaan. Setidaknya dari sisi fotografer. Lihat saja bagaimana pengaturan lampu di studio maupun setting lokasi pemotretan. Contoh, pada foto Tiga Diva (Titi DJ, Ruth Sahanaya, Krisdayanti) Anda akan menemukan settingan lampu yang apik dan tertata rapi. Begitu pula dengan foto Sandi Sandoro, Giring Nidji, Sheila Marcya. Semua menunjukkan kesiapan dari sang fotografer. Agan sudah mempersiapkan semuanya. Ini bukanlah tes foto atau tes lampu. Ia tidak sedang mencari-cari settingan exposure, memilih lensa, atau mencari settingan teknis lainnya. Ia sudah siap.
Sang artis pun sebenarnya sudah siap. Tengok saja dandanan mereka. Tiga Diva (lagi-lagi) sudah siap, Ahmad Dhani dengan kostum jenderalnya. Sandi sudah siap dengan gitarnya. Stylist dan make up artist sudah melakukan pekerjaannya dengan baik. Lalu siapa yang belum siap? Tidak ada, semua sudah siap. Dan tidak ada yang salah. Ini adalah frame pertama dari sesi foto saat itu. Sebagai reaksi atas tembakan peringatan dari fotografer, mereka lantas menampilkan mimik dan gesture yang tidak biasa. Itu saja. Reaksi atas aksi tembakan peringatan Agan.


Tidak layak untuk dipublikasi di majalah tempatnya bekerja bukan berarti karya-karya foto ini adalah ‘foto gagal’. Tidak ada foto gagal dalam seri ini. Justru reaksi atas tembakan peringatan itulah keberhasilan Agan dalam memotret mereka sang selebritis. Beberapa reaksi memang terlihat lucu atau menggemaskan, ada pula artis yang ternyata menampilkan tingkah laku yang bertolak belakang dari yang biasanya ditampilkan di media massa.
Lantas apakah citra artis-artis yang ditampilkan dalam karya ini menjadi tercoreng? Menurut saya para selebritis ini tidak usah khawatir dengan citra mereka di mata publik dengan adanya karya ini. Publik sendiri sudah mengenal mereka lewat penampilan mereka di tempat-tempat umum, konser yang mereka lakukan, atau wawancara mereka di infotainment. Dengan kata lain, publik sudah cukup cerdas dengan penilaian mereka sendiri-sendiri. Agan hanya menampilkan sebagian kecil dari sisi lain mereka, para selebritis. 

Seri foto ini kembali menegaskan Agan adalah salah seorang fotografer yang pemikirannya nyeleneh, mbeling, dan jelas berbeda dari pakem fotografi seperti biasanya. Ketika fotografer lain berlomba-lomba menampilkan dan memamerkan foto-foto tokoh penting, selebritis, atau siapapun dalam keadaan terbaik sang model (settingan lampu, settingan properti, pose, busana, dan teknis lainnya), Agan justru mengajak kita untuk melihat sisi lain dari selebriti yang biasa dilihat publik.

Jakarta, 12 April 2012
Andries S. Pandia

Pengenalan Terhadap Satwa




Galaia Merdu Harahap
14 Maret 2014

Senin, 20 Oktober 2014

20 Oktober 2014




Saya duduk sendiri di suatu pojok sepi di seputaran Monas. Di kejauhan nampak gemerlap panggung besar dengan ribuan orang yang memadati. Selain karena badan saya sudah lelah karena dari tadi siang saya ikut menonton arak-arakan Presiden RI ke-7, Joko Widodo, saya juga baru saja mengalami suatu peristiwa yang cukup traumatis sehingga membuat saya menjadi tidak begitu antusias lagi untuk mengikuti keseluruhan acara itu. 
Di tengah keramaian arak-arakan yang mengiringi Jokowi siang tadi, iphone saya dicopet orang. Sebagaimana kebanyakan orang lain yang pernah kehilangan hp, saya pun cukup merasa gundah karena begitu banyak data-data dan foto-foto penting di hp saya. Dan tentu, butuh perjuangan tersendiri untuk bisa mendapatkan data-data itu seperti semula. Belum lagi dengan kondisi keuangan keluarga kecil kami sedang dalam posisi yang  mengkhawatirkan, sehingga untuk sekedar membeli iphone baru dalam waktu dekat ini, rasa-rasanya agak mustahil. 

Tapi di tengah kemasygulan akibat kehilangan hp, jujur saja, saya menemukan sedikit ketenangan sehingga saya bisa menulis blog ini. Di tengah 'kesunyian' seperti ini, saya seolah merasa seperti dulu, ketika sosial media belum merasuk ke dalam lini-lini kehidupan saya. Biasanya, dalam keramaian seperti ini, saya sudah disibukkan oleh berbagai mention dan postingan di berbagai jejaring sosial media yang saya ikuti. Belum lagi dengan serangkaian 'terror' dari isteri yang sedang kewalahan mengurus anak kami yang baru tumbuh gigi.  Karena kecopetan iphone, paling tidak saya bisa jadi lebih peka terhadap keadaan sekitar. Minimal dalam radius 20 meter di sekeliling saya. Saya jadi bisa melihat sepasang kekasih yang saling bercengkrama di pinggir trotoar, saya bisa melihat anak kecil yang tertidur di samping lapak ibunya yang sibuk berjualan teh botol, saya bisa melihat keluarga yang sedang bersuka ria 'piknik' ditengah hingar-bingar perayaan itu. Imaji-imaji itu berkelindan dengan cepat dan membawa pikiran saya berkelana tentang banyak hal seputar harapan-harapan akan penghidupan yang lebih layak di era pemerintahan yang baru ini. 

Hari  ini, 20 Oktober, adalah hari ulang tahun almarhum ayah saya. Kebetulan bertepatan dengan hari pelantikan Jokowi menjadi presiden yang baru. Sepintas saya terbayang akan wajahnya yang selalu terlihat antusias bila berbicara soal demokrasi serta orang-orang baik dan jujur yang mendukung kelangsungan negara ini. Dan raut wajahnya akan semerta-merta berubah bila obrolan mulai bergeser pada sistem pemerintahan yang carut marut serta politisi-politisi maling disana. Saya membayangkan, andai kata beliau masih hidup, tentu saya tidak akan sendiri duduk di tempat ini. Paling tidak ada seseorang yang bisa saya ajak berdiskusi atau hanya untuk sekedar meminta rokok ( merk rokok kami sama dan kebetulan rokok saya sudah habis). 
Saya teringat pernah suatu kali, keluarga kami sedang dalam keadaan sulit secara ekonomi. Dan dalam suatu dialog yang bersifat tertutup, saya melayangkan protes, karena saya yang waktu itu masih mura belia, punya banyak keinginan yang ternyata tidak mampu untuk dipenuhi ayah saya. 
 "Amang, (alm ayah saya selalu memanggil saya dengan sebutan amang, apalagi kalau sedang dalam posisi yang tidak menguntungkannya), apa yang kita alami sekarang masih 'ecek-ecek' dibanding dengan orang lain". Beliau lalu mencontohkan kisah-kisah para kerabat dan handai taulan yang memang nasibnya lebih 'naas' dari dari apa yang kami alami saat itu. Saat itu saya hanya bisa terdiam tanpa menanggapi setitikpun akan 'solusi'nya itu. 

Di ujung sana, para artis bersama ribuan khalayak masih berjingkrak-jingkrak larut dalam pesta kemenangan itu. Sejurus kemudian, seorang bapak-bapak yang mengenakan topi bertuliskan 'Jokowi' dan kemeja kotak-kotak lusuh dengan ditemani anak laki-lakinya, meminjam korek api yang saya letakkan tak jauh dari bungkus rokok yang sudah kosong. Setelah berhasil menyalakan rokoknya dan mengucapkan terima kasih, mereka pun beranjak bergi. 
Dari kejauhan saya pun mulai beranabel-anabel (analisa gembel) dalam benak saya. Mungkin saja bapak itu adalah seorang supir mikrolet atau tukang sapu jalanan atau  apapun yang harus bapak itu lakukan esok pagi demi kelangsungan kehidupan keluarganya di rumah, dan tentu, demi masa depan anaknya kelak.
Dan tiba-tiba saja, kehilangan iphone menjadi suatu persoalan yang terlalu ecek-ecek  dibandingkan dengan perjuangan hidup orang-orang lain di sekitar saya.


Monas, 20 Oktober 2014, 21.05 WIB


Agan Harahap



Senin, 25 Agustus 2014

Sepenggal Cerita Dari Jalan Pondasi



Barbershop tua yang berada di Jl. Pondasi dekat Pasar Ampera, Pulomas

Aroma wewangian pria merk 'Brut' cukup santer memenuhi ruangan itu. Seorang bapak yang sudah tua duduk terkantuk-kantuk di meja kasir dan musik boleros dari Trio Los Panchos lamat-lamat terdengar dari kaset tape tua di pojok ruangan. Sore itu 4 kursi di barbershop Pondasi sudah terisi penuh. Sambil menunggu giliran, ayah saya bercerita tentang 'sejarah' barbershop.  "Dulu, tukang pangkas dipercaya bisa menyembuhkan luka seperti bisul dan koreng dengan memotongnya dengan pisau cukurnya yang maha tajam itu. Maka dari itu, upayakanlah agar tidak terlalu banyak bergerak, supaya pisau itu tidak melukai mu". Ujar ayah saya menjelaskan. Saya cukup tercekat mendengarkan penjelasan dari ayah saya tadi. Entah benar atau tidak cerita ayah saya tadi, tapi cerita itu langsung membuat saya bertekad untuk berusaha untuk duduk diam dan tenang ketika prosesi pangkas itu berlangsung. Saya tidak mau kehilangan nyawa di tempat  itu.
"Silakan dik" ujar seorang tukang pangkas yang berkepala plontos sambil menyeringai dengan ramah seraya mempersiapkan papan kecil yang diletakkannya di antara pegangan kursi supaya saya bisa duduk cukup tinggi dan agar lebih nyaman ketika rambut saya dipotongnya.
"Kress.. Kress.." Dan sedikit demi sedikit rambut ikal saya yang tebal itu jatuh kelantai. Sampai pada akhirnya, tukang pangkas itu mengoleskan sabun dingin di sekujur pipi dan punuk leher saya. Ya Tuhan, ini adalah saat yang mendebarkan, ketika tukang pangkas itu akan memainkan pisau cukurnya untuk membabat habis rambut-rambut tipis yang tidak mungkin terpotong oleh gunting. Tukang pangkas itu nampaknya bisa merasakan ketegangan saya. Dia pun mulai mencairkan keadaan dengan bertanya seputar studi di sekolah sambil mengasah pisaunya diselembar kulit yang menjuntai di samping kursi. Mengingat cerita ayah saya sewaktu menunggu giliran tadi, sayapun diam membatu tak bergerak sedikitpun. Pisau yang dingin terasa dibelakang leher saya. "Kreettt... Kreett.." Suaranya begitu mencekam seolah-olah siap mencabut nyawa saya setiap saat. Namun hal itu tak pernah terjadi. Setelah rambut selesai dipotong, saya bahkan merasa lebih hidup, seolah baru dilahirkan kembali.
Beres giliran saya, ayah gantian menempati kursi yang saya duduki tadi. Tentu saja, dengan badan yang tinggi besar itu, ia tidak memerlukan kayu untuk menambah ketinggian posisi duduknya. Ayah saya adalah pelanggan setia barber shop itu semenjak dia masih menumpang tinggal di rumah opung saya di Jalan Mutiara. Jauh sebelum saya 'diciptakan' atau bahkan di 'rencanakan'.
Sebagai orang yang sudah lama kenal, mereka langsung terlibat dalam pembicaraan yang cukup akrab. Pembicaraan mereka cukup ringan namun terus mengalir. Tukang pangkas itu bercerita bahwa kalau setelah barbershop itu tutup, maka ia harus menumpang omprengan untuk pulang ke daerah Bogor. Tapi saya tidak tertarik untuk mendengarkan pembicaraan mereka. 
Saya lebih tertarik untuk mencermati suasana tempat itu. Di atas meja kasir, terdapat kepala rusa yang diawetkan. Di bawahnya terdapat lukisan repro tentang suasana barbershop alla Eropa. Di kursi tunggu, terdapat majalah-majalah lama namun saya pun tidak tertarik untuk membukanya. Di belakang barbershop itu ada sebuah pintu alla saloon cowboy yang menghubungkan tempat itu ke rumah belakang yang tampak gelap. Bosan dengan ruangan itu, saya pun berjalan keluar. Di sebelah barberhop itu, terdapat toko penyewaan video dan laser disc. Dan poster film yang tertempel di kaca etalasenya adalah film "Akibat Kanker Payudara" yang dibintangi oleh Cok Simbara dan Chintami Atmanegara. Saya cukup lama memperhatikan poster itu seraya membayangkan payudara montok Chintami Atmanegara. Maklum saja, waktu itu saya belum mengerti ganasnya penyakit kanker sehingga kata 'payudara' lebih mendominasi imajinasi saya. Tidak banyak hal yang bisa saya nikmati di luar. Saya kembali masuk ke dalam barbershop itu. Rupa-rupanya ayah saya telah selesai memotong rambutnya dan kini beliau sedang menikmati pijitan tukang pangkas yang berkepala plontos tadi. Saya terus mengamat-amati tiap sudut dari ruangan barershop itu sambil perlahan menikmati lantunan suara merdu dari Trio Los Panchos.

Cerita di atas, adalah sepenggal memori yang masih melekat di benak saya akan tempat pangkas rambut (barbershop) di jalan Pondasi Kampung Ambon, Pulomas. Memori ketika saya masih duduk di Sekolah Dasar. Lebih dari 25 tahun yang lalu.



Minggu yang lalu, sewaktu berlibur ke Jakarta, saya menyempatkan diri berkunjung ke tempat itu untuk memangkas rambut yang sudah mulai meng-kribo. Barbershop Pondasi cukup ramai pengunjung. Dan sambil mengantri, saya pun melayangkan ingatan saya ke beberapa puluh tahun lalu.
Rupanya barbershop itu sudah bergeser 1 toko ke sebelah pojok. Barbershop itu kini berdiri di tempat yang dulunya adalah garasi mobil. Sementara bangunan lama sudah berubah menjadi warung pecel lele.  Interior barbershop itu tidak banyak berubah. Meja dan kaca utama tampak mengkilap sepertinya memang masih baru dan tentu saja, suara merdu Trio Los Panchos itu sudah tidak terdengar lagi. Berganti dengan suara cempreng penyiar Gen FM yang mencoba melucu dengan lawakan-lawakan menghujat fisik khas jaman sekarang. Selebihnya interior barbershop itu masih terlihat sama seperti dulu. Kepala rusa awetan itu masih tergantung dengan gagah di atas meja kasir. Dan lukisan repro suasana baerbershop alla eropa masih tergantung di bawahnya.
Tapi tukang pangkas yang berkepala plontos dulu sudah tidak ada. Begitupun juga dengan bapak yang selalu terkantuk-kantuk di balik meja kasir. Hampir semua personel barbershop itu adalah anak-anak muda yang usianya rata-rata di bawah saya. Kecuali seorang bapak berbadan bungkuk dengan rambut yang sebagian besar sudah memutih. Ya, saya ingat bapak ini. Dulu bapak ini adalah 'junior' yang kerap menyapu membersihkan sisa-sisa rambut yang berceceran di lantai. Giliran saya tiba. Dan bapak itu tersenyum ramah mempersilakan saya untuk duduk di kursi. Tentu saja, saya tidak lagi duduk di atas papan kayu.
Saya sengaja untuk tidak bertanya apapun kepada bapak tua itu. Saya masih 'memegang teguh' cerita ayah saya dulu, bahwasannya kita harus duduk diam ketika sedang dipangkas supaya tidak terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. Saya hanya duduk dengan diam sambil terus mengingat-ingat keadaan barbershop itu puluhan tahun yang lalu. Rupanya saya adalah 'pasien' terakhir untuk saat itu. Sebentar lagi azan Maghrib akan berkumandang sehingga wajar saja kalau barbershop itu sepi. Setelah membayar di kasir, saya mencoba berbincang dengan bapak bungkuk tadi tentang tempat itu. Tak disangka, walaupun bapak itu tidak mengenali saya, namun beliau masih ingat bahwa ada seorang laki-laki gondrong dan brewokan yang sampai empat tahun yang lalu, hampir sebulan sekali selalu mengunjungi tempat itu. Ya, dia masih ingat dengan almarhum bapak saya. Beliau kaget dan mengucapkan belasungkawanya setelah tahu bahwa pelanggan setianya kini telah tiada. Dia pun bercerita bahwa tukang pangkas berkepala botak dan kasir yang biasa duduk terkantuk-antuk itupun juga kini telah meninggal dunia. Cukup lama kami berbincang-bincang. Dia tampak tersenyum senang ketika saya bisa dengan fasih menceritakan apa yang masih saya ingat terhadap tempat itu. 

Hari sudah mulai gelap. Satu demi satu pengunjung mulai berdatangan memenuhi barbershop itu. Bapak bungkuk itu pamit karena harus kembali menunaikan tugasnya. Saya masih berdiri merokok di depan sambil memandang takzim ke arah barbershop itu. Mengingat umurnya yang sudah melampaui 2 generasi, saya yakin bahwa ada puluhan atau bahkan ratusan orang lain yang juga punya kenangan tersendiri terhadap tempat itu. Sebuah pesan dari istri masuk menanyakan keberadaan saya. Waktunya untuk pulang dan menyudahi segala cerita sentimentil ini. Saya mengayuh sepeda menuju ke rumah. Angin malam yang dingin bertiup perlahan menyebarkan semilir wangi  aroma 'Brut' di kepala saya.





Jumat, 01 Agustus 2014

Nenek Moyang Ku Bukan Orang Pelaut


Pantai Parangendog

Saya adalah pehobi mancing yang cukup fanatik. Walaupun memang sering kali tidak ditakdirkan untuk mendapat ikan, namun saya selalu antusias dengan dunia pemancingan. Setelah merencanakan dengan seksama, saya dan Pungki, seorang seniman fotografi yang juga hobi memancing memutuskan untuk menjajal pantai pasir Parangendog, sebelah barat pantai Parangtritis.
Ini adalah kali pertama saya menjajal dunia perikanan Jogja. Dengan penuh semangat dan antusiasme tinggi, kami berdua menyusuri Jalan Parangtritis dengan menggunakan sepeda motor.

Sewaktu masih berdomisili di Jakarta, saya, Andries, Willy, Joey dan Andre kerap kali pergi memancing di kepulauan seribu. Dan selalunya kami memakai teknik mancing dasaran. Kami memang tidak begitu serius menekuni hobi memancing dan lebih memprioritaskan persediaan bir yang dibawa ketimbang umpan dan joran. Tapi kami sangat menikmati nuansa perpaduan antara sentakan ikan, alkohol dan hebusan kencang angin laut yang memang tiada duanya. Namun kali ini suasananya sungguh berbeda. Saya sama sekali tidak mempersiapkan 'amunisi' apapun untuk bergembira ria di pantai. Yak. Kali ini saya bertekad untuk serius untuk menangkap ikan.

Sesampainya di lokasi, tampak begitu banyak turis lokal yang sedang menikmati keindahan dan mistisme laut selatan itu. Adapun teknik memancing yang kami terapkan siang itu adalah mancing pasiran. Bagi saya, ini adalah teknik yang cukup sulit mengingat bahwa ketahanan fisik, penguasaan teknik dan pengalaman memegang peranan penting dalam menerapkan teknik mancing jenis ini. Sementara saya, sama sekali tidak punya pengalaman dalam mancing pasiran. Ditambah lagi dengan  fisik saya yang sudah tidak bisa lagi dibilang muda.

Angin keras menerpa wajah saya, antusiasme saya memuncak untuk segera menangkap ikan. Umpan sudah siap dan kami langsung berlari menerjang ombak dan dengan sekuat tenaga melemparkan umpan sejauh mungkin. Semenit, dua menit, tiga menit dan 'drttt.. drttt..'
Tali senar menegang, terasa ada yang menarik di bawah sana, langsung saja saya menggulung reel dengan penuh semangat. Rupa-rupanya yang saya kira tarikan ikan tadi hanyalah timah pemberat yang tertarik arus. Sementara umpan masih dalam keadaan utuh. Setelah menunggu momen yang tepat, saya pun kembali mencambukkan joran sekuat tenaga ke tengah laut. ( Untuk memancing di pantai pasir seperti ini, memang dibutuhkan joran yang panjang dan lentur untuk mencapai jarak lempar yang maksmimal). Semenit, dua menit, lima menit, sepuluh menit saya menunggu namun tidak ada sentakan sama sekali. Beberapa getaran kecil saya acuhkan karena saya tidak mau tertipu untuk yang kedua kalinya oleh timah pemberat yang tergulung arus. Bosan dengan keadaan statis itu,  saya menggulung reel untuk memeriksa keadaan umpan. Ternyata umpan sudah ludes dimakan ikan. Artinya memang ada ikan di pantai itu. Walau memang belum menyangkut di kail, namun setidaknya umpan dimakan. Dan itu menumbuhkan semangat dan harapan besar di dalam hati.

Dengan semangat tinggi tanpa kenal lelah, saya kembali melemparkan umpan sekuat tenaga ke tengah lautan yang menggelora. Semenit, dua menit, sepuluh menit, dan saya kembali menggulung reel dengan hasil yang masih sama. Nol. Kejadian itu terus berulang berkali-kali. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 6 sore. Itu artinya saya sudah 3 jam lebih terendam di tengah hempasan ombak. Harapan hanya tinggal harapan. Saya memutuskan untuk beristirahat sejenak untuk sekedar merokok dan melemaskan badan yang sudah mulai kejang. Beberapa anak kecil yang sedang bermain pasir menghampiri dan dengan ramah bertanya pada saya, 'Sudah dapat berapa oom?' 'Kenapa mancing disini oom?, kan disini gak ada ikannya oom'. Pertanyaan- pertanyaan yang cukup menampar hati, mengingat perolehan buruan yang masih nihil. Saya tidak mau berlama-lama mendengar celoteh anak-anak yang nampaknya sangat berpengalaman itu. Saya memutuskan untuk kembali memancing ke tengah. Semenit, sepuluh menit, dua puluh menit, saya sengaja tidak menarik reel karena dari kejauhan saya melihat bahwa sekelompok anak-anak tadi masih bermain di tempat tadi dan saya tidak ingin terlibat dalam dialog-dialog yang hanya menyakitkan hati.

Pungki masih memancing
Di tengah rasa dingin dan pegal yang mendera, serta sambil terus berharap akan adanya seekor ikan yang tulus ikhlas memakan umpan, saya mencoba merenungkan dan menganalisa sebab-musabab tidak adanya ikan yang mau menyangkut di kail saya. Semua teori analisa seputar perpancingan berkelindan dengan cepat di benak saya. Mulai dari teori-teori ilmiah seputar perubahan iklim, arah arus, teknik yang salah, sampai kepada teori-teori imajinatif yang tidak masuk akal. Apakah karena kepergian saya ini tidak direstui 100% oleh anak-istri di rumah, apakah karena sebelum memancing tadi saya bersalaman dengan orang yang menularkan kesialannya pada saya, dan belasan anabel-anabel (analisa gembel) lainnya.

Tiba-tiba saja saya teringat akan sebuah lagu yang kerap dinyanyikan oleh almarhum ayah saya ketika sedang bercanda dengan cucu-cucuya, Gisella dan Karissa. Sebuah lagu yang dulu juga sering dinyanyikan ketika sedang bercanda dengan saya dan adik saya.
Lagu itu merupakan 'plesetan' dari lagu 'Nenek Moyangku Orang Pelaut'. Adapun judul dan lirik lagu itu digubah menjadi : ' Nenek Moyangku Orang Benggali'.
Begini liriknya :

Nenek moyang ku orang Benggali
Rambutnya panjang bertali-tali
Pergi ke ladang, mencari ubi
Di tengah jalan, di sodok babi.

Walaupun nenek moyang saya bukan orang Benggali, namun terdapat kesamaan antara orang Benggali di lagu itu dan nenek moyang saya. Mereka adalah sama-sama masyarakat agraris yang pola hidupnya bergantung dari hasil ladang dan hutan yang sama sekali jauh dari kehidupan maritim. Dan saya percaya, bahwa bakat atau talenta yang dimiliki seseorang adalah bawaan keturunan. Baik itu dari ayahnya, kakeknya atau nenek moyangnya. Ayah saya adalah seorang penulis yang membuka usaha penerbitan buku. Sementara Opung saya adalah seorang pegawai kantor pekebunan di Medan. Dan konon, nenek moyang saya pun berprofesi sebagai petani karet dan penyadap kemenyan di rimba Tapanuli sana. Mereka bukan nelayan, pelaut ataupun marinir. Jadi memang 'udah dari sono-nya' saya jauh dari kehidupan maritim dan tidak punya bakat memancing.

Dan sebagai seorang Kristen, saya percaya akan kekuatan doa. Saya percaya, bahwa dalam berusaha untuk mencapai sebuah tujuan, kita harus bertekun, bergiat dan tak lupa untuk membawanya dalam doa. Lantas saya berpikir, apakah karena saya tidak berdoa sebelum pergi? ataukah karena sebelum melempar umpan tadi saya tidak berdoa? Baiklah. Walaupun saya tidak dilahirkan dengan bakat sebagai seorang nelayan, tapi sebelum nanti melemparkan umpan lagi ke tengah laut, saya akan berdoa. Burung pipit yang kecil saja dikasihi-Nya, bagaimana mungkin Tuhan tidak mengasihi saya? Kiranya kehendakNya-lah saja yang akan terjadi atas ikan yang akan tertangkap nanti.

Saya juga teringat semacam ungkapan yang saya ciptakan sewaktu saya masih aktif di kumpulan Mahasiswa Pencinta Alam, "Manusia sudah ditakdirkan untuk hidup di kota. Bukan di gunung dan hutan. Karena manusia diciptakan Tuhan tidak dilengkapi dengan badan yang dipenuhi bulu-bulu tebal. Ungkapan itu tercipta ketika saya sedang kedinginan di puncak Gunung Gede dalam keadaan basah kuyup karena kehujanan. Saya percaya akan suratan takdir yang menentukan jalan hidup seseorang. Dan mungkin saja, salah satu faktor penyebab tidak ada seekorpun ikanpun mau yang menyambar umpan saya, adalah karena takdir Illahi. Tapi bagaimanapun juga, takdir itu adalah rahasia Tuhan. Hidup, mati, karir, jodoh dan ikan-pun, itu ada di dalam tangan Tuhan. Biarlah saya pasrahkan semuanya kepada Yang Di Atas. Mukjizat itu nyata. Saya percaya, Tuhan akan sudi berbaik hati memberikan seekor ikan untuk saya.

Sunset di Parangendog

Langit mulai berpendar redup kemerahan, sebentar lagi gelap. Angin keras menerpa dan membelai wajah saya. Tiba-tiba saja saya merasa bersemangat dan ceria lagi. Rasanya sama seperti pertama kali melemparkan kail  siang tadi. Saya merasa 'feeling so good banget'. Sambil menggumamkan lagu-lagu rohani dari Kidung Jemaat, saya menggulung reel. 50 meter, 40 meter, 30 meter dan stop. Senar pancing meregang dengan kencang. Reel tidak mau digulung lagi. Kail saya tersangkut karang. Segala lantunan lagu dan doa yang saya kumandangkan tadi, saya hentikan. Keceriaan dan adrenalin yang sempat memuncak tadi seketika sirna. Saya memutuskan tali, menggulung benang yang tersisa dan kembali ke pantai sambil bersiul menyanyikan lagu 'Nenek Moyangku Orang Benggali'.


Parangendog, 2 Agustus 2014.


Agan Harahap









Rabu, 23 Juli 2014

Perihal 'Respon Kritis-Kreatif' Di Media Sosial





Siang tadi saya cukup terusik dengan pernyataan Tantowi Yahya, juru bicara calon presiden Prabowo Subianto, yang mengeluhkan banyaknya netizen yang membully Prabowo perihal keputusannya yang mengejutkan untuk menolak hasil rekapitulasi KPU. Sebuah pernyataan yang menurut saya mencerminkan sikap 'primitif' untuk seorang politisi sekaliber mereka dalam menyikapi timbulnya berbagai reaksi yang terjadi di jejaring sosial media. 

Tidak seperti dengan media-media konvesional yang masih bergantung pada jumlah cetak, oplah atau bahkan mungkin kolom pembaca dalam membentuk interaksi dengan pemirsanya, khalayak pengguna jejaring sosial dengan serta-merta dapat langsung merespon, menanggapi dan menyebarkan hal apapun yang berlaku di medan sosialnya.
Memang tidak ada patokan normatif yang digunakan sebagai tolak ukur dalam merespon berbagai hal yang terjadi dalam jejaring sosial. Semua orang bisa dengan serta-merta dan semena-mena menyuarakan isi hatinya. Masih segar di ingatan saya ketika ribuan pengguna media sosial menyuarakan 'pendapat kritisnya' (bullying?)  terhadap seorang ketua panitia acara yang dianggap gagal merealisasikan perhelatan musik akbar yang akhirnya menyebabkan korban memutuskan untuk mengakhiri hidupnya setelah mengalami 'penghakiman massal' di jejaring sosial media. Tidak ada proses hukum dan peradilan yang berlaku terhadap kejadian tersebut. Sebaliknya, fenomena ini justru berbanding terbalik ketika seorang Prita Mulyasari dipaksa untuk bertanggung jawab' karena menyuarakan ketidakpuasannya atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional di milis. Dan saya rasa kita tidak perlu berpanjang lebar membicarakan UU ITE yang masih harus terus 'dimodifikasi' disana-sini sesuai dengan perkembangan teknologi.
Setiap orang tentu mempunyai pendapat dan respon yang berbeda dalam memproduksi atau menanggapi suatu hal atau fenomena yang sedang terjadi, tergantung dari berbagai latar belakang dan kepentingannya. Sudah semestinya, sebagai pengguna jejaring sosial mengetahui dan bisa menyikapi hal-hal yang mendasar seperti ini. Apalagi para elit politik disana yang kerap menjadi sorotan publik, sudah seyogyanya mengetahui bahwa setiap tindak tanduk dan perbuatannya dapat menimbulkan reaksi baik positif maupun negatif di jejaring media sosial.

Perkembangan teknologi informatika yang sedemikian pesatnya, tanpa disadari sudah turut berkontribusi dalam pembentukan karakter masyarakat dalam suatu medan sosial tertentu dalam menyikapi suatu persoalan. Keadaan ini dipertegas (atau diperparah) lagi dalam masa kampanye pilpres, ketika begitu banyak oknum atau instansi yang dengan sengaja meniupkan isu-isu miring secara massive seputar pribadi capres demi merebut atau menjatuhkan simpati publik terhadap calon pasangan tertentu. Beberapa golongan dalam masyarakat yang masih lemah dan lugu akan aktualisasi dan akurasi informasi, dapat dengan mudah terpengaruh dan secara otomatis justru malah memperbesar efek negatif dari berita/isu yang tidak jelas asal-usulnya tersebut. Alhasil kedua kubu yang berseberangan menjadi semakin fanatik dan militan terhadap jagoannya masing-masing. Setiap berita tentang capres-cawapres yang dibaca dapat dengan mudah dijadikan bahan untuk memicu gesekan dan benturan antar netizen.

Berbagai interaksi yang terjadi di berbagai jejaring sosial semasa pilpres tidak melulu marak diisi oleh tulisan atau berita-berita miring seputar capres-cawapres terkait. Bahasa gambar (fotografi, video, meme dsb) juga turut memegang peranan penting atas dinamika yang terjadi di jejaring sosial belakangan ini. Tidak hanya berperan sebagai pelengkap berita, tapi gambar juga bisa berdiri sendiri untuk membentuk, meluruskan atau bahkan membelokkan opini publik. Akhirnya, perang visual pun tak dapat terelakkan lagi. Kedua kubu saling menyerang dengan berlomba-lomba menyebarkan gambar-gambar baik itu foto asli maupun foto rekayasa. Baik itu yang bersifat parodi ataupun fitnahan keji. Untuk gambar-gambar yang berada di ranah parodi, jelas dibutuhkan spontanitas dan kreatifitas dalam membaca situasi yang terjadi dan kemudian menggubahnya dalam bahasa komedi visual. Alih-alih terbakar karena emosi yang membabi buta,  'Perang Badar' yang terjadi di ranah parodi visual justru banyak menarik minat netizen untuk meramaikan atau bahkan terkadang malah meredakan ketegangan yang kerap terjadi di antara kedua kubu yang berseberangan. Sayangnya, perbandingan jumlah produsen gambar-gambar parodi itu tidak seimbang. Karena begitu gencarnya serangan gambar parodi kreatif ini, sehingga membuat salah satu kubu merasa dibully oleh kubu lainnya.

Kembali kepada pernyataan Tantowi Yahya perihal keluhan timnya terhadap berbagai 'respon kreatif' yang ditujukan kepada Prabowo Subianto. Saya rasa tidak sepantasnya bila sekelompok politikus kawakan yang mempunyai puluhan atau bahkan ratusan ribu followers, merasa tersinggung dan lantas mengeluh atas berbagai respon kreatif yang datang dari berbagai penjuru. Belum lagi bila kita mengingat perilaku beberapa elit pendukung koalisi yang kerap 'nyinyir' dan acap kali melontarkan statement-statement provokatif tak berdasar di lini masa yang tidak pantas dilakukan oleh seorang yang mengaku negarawan. Berbagai 'respon kreatif' yang anda terima, kiranya jangan melulu dipandang sebagai suatu hal yang buruk, melainkan bisa dijadikan sebagai bahan refleksi permenungan untuk bersikap dan berlaku dengan lebih baik lagi di masa-masa yang akan datang. 



Agan Harahap









Kamis, 10 Juli 2014

Antara Sting, Jokowi Dan Saya



Dini hari, di penghujung Pemilu Presiden 2014 yang baru saja berlalu, jutaan rakyat Indonesia yang masih terjaga menunggu waktu sahur, tiba-tiba dikagetkan oleh sebuah berita yang tersebar di media sosial tentang adanya dukungan dari Sting, musisi legendaris asal Inggris, yang ditujukan untuk salah satu kandidat presiden, Joko Widodo. 
Selain Sting, musisi Jason Mraz dan grup band Arkarna pun menyatakan dukungannya kepada Jokowi. Tak hanya itu, Vicky Vette, bintang film porno yang selama ini 'cukup akrab' dengan segala permasalahan di Indonesia, turut menyatakan dukungannya untuk Jokowi. 

Berita tentang berbagai dukungan dari publik figur luar negeri itu tersebut langsung tersebar dengan cepat di berbagai jejaring sosial di Indonesia. Begitu banyak reaksi yang timbul pada dini hari itu. Sebagian pendukung Jokowi yang masih bangun (termasuk saya) lantas menyebarkan kabar gembira itu di berbagai lini masa medan sosial saya. Untuk para pendukung kandidat presiden nomor urut 1, Prabowo Subianto, berita tersebut mungkin menjadi momok bagi mereka. Banyak tudingan-tudingan miring yang dilontarkan atas dukungan musisi tersebut.


KATA SIAPA DUKUNGAN STING UNTUK JOKOWI ITU HOAX?!? ini fotonya!!

Sebagai seniman yang kerap menggunakan media sosial sebagai medium dalam berkarya, saya langsung tanggap akan situasi yang terjadi pada dini hari itu dan segera merespon kehebohan itu. 
Saya segera membuat 'pembenaran hiperbolis' akan adanya dukungan Sting kepada Jokowi dengan membuat 'realita baru' sekedar untuk meramaikan suasana saat itu. Tak disangka, karya tersebut banyak mendapat respon dari netizen pada dini hari itu. Foto saya dengan cepat langsung tersebar luas di jejaring sosial. Beberapa teman yang memang sudah cukup akrab dengan gaya berkesenian saya, terhibur senang. Dan saya pun tertidur dengan pulas. Setidaknya, karya saya sudah bisa membahagiakan orang. 

Keesokan harinya, saya mendapati ratusan notifikasi perihal foto yang saya unggah beberapa waktu yang lalu. Dan saya pun tersenyum akan berbagai tanggapan yang masuk. Baik itu dengan nada yang memuji maupun dengan nada yang mencemooh. Sebagian pendukung Jokowi yang percaya, secara otomatis langsung mempertahankan perihal keabsahan foto itu. Sementara pendukung Prabowo terlihat mati-matian menampik dengan berbagai cara sampai meminta justifikasi dari promotor yang mendatangkan Sting dalam konsernya di Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Pendek kata, foto Sting dan Jokowi bikinan saya cukup menghebohkan lini masa orang-orang di pagi dan siang hari itu.

"@panca66 : Iba kita :) RT @SuleTegepe : @panca66 ini bro yang lu maksud editan. Jelas banget #editanmurahan

@BagusMarwoto hasil sotosop dari gambar Roger Friedman and Sting

Alih-alih semakin mereda, menjelang sore sebuah media memberitakan kabar bahwa foto Jokowi dan Sting itu adalah 100% rekayasa photoshop. Rupa-rupanya, untuk sebagian orang butuh waktu seharian untuk meneliti tentang orisinalitas foto ini. Dan sebagai konsekuensinya, ratusan netizen langsung bereaksi dengan merespon kembali foto tersebut dengan berbagai ekspresi. Tidak ada yang salah dengan ratusan respon itu, karena itu adalah bagian konsekuensi dan dinamika dalam berkehidupan di jejaring sosial media. 

Yang menarik disini adalah bagaimana cara pandang dan tindakan kita dalam menyikapi suatu 'realita baru' yang kadang bertentangan atau bahkan terlalu sejalan dengan hati nurani yang membutakan akal sehat, sehingga dapat dengan mudah diperdaya oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab (termasuk saya?). Ditambah lagi dengan animo massa yang begitu menggelora dari kedua kubu kandidat presiden, sehingga apapun yang sesuai dengan harapannya, langsung ditelan bulat-bulat dan semua yang tidak sejalan dengan harapannya akan diterjang dan ditentang habis-habisan. 

Pemilu Presiden sudah selesai dengan segala problematikanya. Kini kita memasuki masa-masa penantian akan kandidat mana yang akan keluar sebagai pemenang, pengemban amanat rakyat Indonesia. 
Karya ini hanyalah sebagian kecil dari ratusan atau bahkan ribuan kabar hoax yang beredar seputar urusan pilpres ini. Dan di dalam masa-masa penantian yang dipenuhi berbagai kecemasan dan harapan ini, hendaknya kita selalu mengedepankan logika dan akal sehat dalam menghadapi sebuah realita baru.


Agan Harahap



Senin, 07 Juli 2014

KARTU POS UNTUK JOKOWI-JK







A: 'Massa pendukung Jokowi itu besar loh!' B: 'Oyah? Gak percaya ah!' A: 'Ini bukti fotonya..'

Dalam dua hari lagi, Indonesia akan menjalani Pemilihan Umum Presiden (pilpres). Sebuah keputusan besar yang melibatkan seluruh bangsa Indonesia untuk menentukan masa depannya. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, kali ini animo masyarakat sangat menggebu-gebu untuk mengikuti ajang pesta demokrasi 5 tahunan ini. Saya, sebagai orang yang tidak pernah antusias dan peduli dengan pemilu atau pilpres, kali ini bersama-sama dengan jutaan masyarakat Indonesia lainnya dengan semangat turut berpartisipasi untuk menyukseskan pemilihan umum. Adapun semangat ini muncul karena kami, rakyat Indonesia sudah terlalu muak dengan berbagai sistem pemerintahan dan situasi politik yang terjadi selama puluhan tahun di negara ini. Bersembunyi di balik Pancasila dan semangat reformasi, petinggi-petinggi ini justru merampok dan mengeruk kekayaan negara ini di segala sektor. Tak hanya urusan korupsi, berbagai organisasi masyarakat tumbuh menjamur dan bisa berlaku anarkis terhadap yang tak sepaham dengan ideologinya.

Setelah melalui berbagai tahapan, pemilihan presiden kali ini hanya menyisakan 2 pasang kandidat calon presiden dan wakil presiden yang akan maju menuju tampuk kepemimpinan tertinggi di negara ini. Pertarungan para elit politik di atas sana berimbas ke segala lini kehidupan sosial masyarakat.
Bahkan media yang seharusnya bersifat netral, mau tidak mau, jadi ikut berpihak untuk kemenangan calon presidennya. Banyaknya media-media baru yang tidak kredibel dan tidak jelas sumbernya pun banyak bermunculan dan melulu menebar fitnah pada salah satu capres sehingga memperkeruh suasana. Akibatnya, banyak kalangan masyarakat yang dengan mudah percaya dan akhirnya turut membantu penyebaran berbagai fitnah ini di medan sosialnya. Berbagai gesekan dan benturan antar kelompok pendukung kedua capres tidak dapat dihindari lagi. Begitu banyak sahabat, saudara bahkan keluarga yang selama ini menjalin hubungan yang harmonis menjadi bertentangan karena berbeda pendapat dan ideologi dalam mengusung calon presiden favoritnya.

Sebagai seorang seniman yang kerap berkarya dengan menggunakan jalur distribusi media sosial, saya cukup akrab dengan berbagai berita miring maupun kabar fitnah yang beredar di berbagai lini masa jejaring sosial semasa pemilihan presiden ini. Saya mencoba untuk merespon situasi ini dengan menjadikannya sebagai sebuah rangkaian karya parodi disertai berbagai petuah-petuah bijak, sekaligus menyuarakan dukungan saya untuk salah satu kandidat presiden.


Berfoto bersama salah satu warga Amerika yang merupakan pendukung fanatiknya

"Bro, persahabatan dan silaturahmi itu nomor satu. Kalau presiden itu nomor dua".
Kekuatan dan kedigdayaan bukanlah faktor utama agar bangsa kita dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain

Bukti bahwa Jokowi adalah antek Amerika. Terlihat dari baju yang dikenakannya bergambar bendera Amerika


Bersama rekan-rekan dari Tiongkok. Cai Guo-Qiang, Ai Weiwei dan Zhang Huan

Usia bukanlah halangan utama untuk akrab dengan para pemuda
"Bicara soal rasa, itu cuma masalah selera. Yang terutama adalah asupan gizi dan vitamin yang cukup. Urusan presiden, itu nomor dua sajalah"
Semua akan berjalan dengan baik bila dikerjakan oleh orang yang kompeten di bidangnya

Yang dibutuhkan oleh bangsa ini bukanlah orang yang piawai dalam bersilat lidah menebar kata-kata indah dan membuai, tapi bukti kerja yang nyata.
SBY: 'Duh..Kok gelap yaa? Apa ISO-nya kurang gede yaa?' JKW: 'hmm..Nganu mas, mungkin tutup lensanya bisa dibuka dulu..' Ucapnya sambil tersenyum bijak menenteramkan hati
Bahwa semua yang terekam, tidak akan pernah mati, dik..

Kesederhanaan dan kejujuran adalah kunci utama agar kita bisa menjalin kerjasama dan tali silaturahmi dengan negara-negara di dunia
Kekayaan serta kekuatan hanyalah bersifat sementara di dunia fana ini mas.. Kesemuanya itu tak akan berarti apa-apa tanpa ketulusan dan niat baik serta kepedulian terhadap sesama.
Gelimang harta memang kerap menyilaukan mata. Namun pribadi yang jujur, sederhana dan merakyat ditambah hati yang tulus serta semangat untuk membangun, itulah yang abadi di dalam hati.
Segala kekuatan dan keberanian yang kau teriakkan itu akan sia-sia tanpa diikuti dengan tekad bulat yang bersumber dari hati nurani yang tulus dan ikhlas




Waktu masih ada, walau tinggal sedikit lagi. Tapi hendaklah kita tinggalkan sentimen agama dan berbagai isu, rumor dan kabar burung yang beredar. Mari kita sukseskan Pemilu 2014 ini dengan memilih calon presiden dengan didasari oleh hati nurani dan akal yang sehat untuk menentukan nasib bangsa kita di kemudian hari. 
Berikut saya sertakan tautan untuk mengunduh rangkaian serial ini. Masih ada sedikit waktu untuk mencetak dan membagikannya kepada orang-orang terkasih anda.
Dan kalaupun pemilu yang meriah ini kelak akan berakhir, kiranya karya-karya ini bisa disimpan sebagai kenangan, bahwa kita pernah menjalani dan terlibat dalam sebuah pesta demokrasi yang paling meriah dalam sejarah bangsa Indonesia.



Salam dua jari.


Agan Harahap




















Rabu, 25 Juni 2014

Sing Fest #5 : DERETAN TANGGA LAGU PARTAI POLITIK INDONESIA 2014





Pemilu legislatif baru saja berlalu dan sebentar lagi kita akan memasuki pemilihan presiden untuk menentukan nasib bangsa ini selama lima tahun kedepan. Banyak partai yang mendulang suara jauh di bawah target sehingga terpaksa berkoalisi dengan partai lain guna tercapainya berbagai maksud dan tujuan. Bicara soal perolehan suara dalam pemilu, tentu kita tidak bisa lepas dari pengaruh sosok atau tokoh yang digadang partai untuk menjadi kandidat presiden. Tapi mengandalkan ketokohan capres saja tidaklah cukup. Militansi kader tetap harus diperhatikan, semangat juga harus tetap dijaga untuk memaksimalkan kerja mesin partai. Salah satu alat untuk memacu semangat militan kader partai adalah musik. Dalam berbagai sejarah bangsa di seluruh dunia, telah terbukti bahwa musik adalah senjata yang ampuh untuk mengiringi derap langkah para patriot dan memacu semangat juang untuk merebut kemenangan.

Lalu bagaimana dengan lagu mars partai-partai peserta pemilu 2014 kemarin? Apakah lagu-lagu itu sudah cukup untuk menjadi bahan bakar yang ampuh untuk menggerakkan mesin partai? ataukah malah melempem sehingga mempengaruhi raihan suara yang tidak optimal? Ataukah untuk era sekarang ini lagu mars penyemangat kader sudah beralih fungsi, atau sekedar merupakan formalitas pelengkap dari syarat berdirinya sebuah partai?

Saya bukanlah seorang pengamat musik profesional yang mengerti seluk-beluk sejarah musik mars. Saya juga bukan pakar politik yang paham akan seluk-beluk urusan partai dan pemilu. Saya hanya mencoba melihat kembali fungsi lagu mars partai dalam peta perpolitikan tanah air di era modern ini dari kacamata pribadi saya. Bisa jadi ulasan ini menjadi terlalu naif atau mungkin juga terlalu sentimentil.

Selamat menikmati! 



1. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)


Partai yang diidentikkan dengan pesantren, kiyai dan santri ini ternyata mempercayakan urusan lagu mars partainya terhadap seorang komposer yang beragama Kristen. Tidak bisa dipungkiri kepiawaian seorang komposer Alfred Simanjuntak dalam merangkai kata dan nada menjadi sebuah mars yang humanis namun sekaligus tetap megah dan menggugah untuk mengiringi sebuah kebangkitan bangsa. Setelah lagu Bangun Pemudi Pemuda yang tersohor itu, maka bagi saya, Mars PKB inilah yang menjadi highlight dalam karier bermusik Alfred Simanjuntak.


2. Partai Demokrat


Sepanjang berdirinya, Partai Demokrat seperti tak pernah putus dirundung masalah korupsi. Rasanya tidak akan mampu untuk saya ceritakan secara terperinci berbagai kasus yang melibatkan para petinggi dan elit partai ini. Walaupun tokoh utama partai ini, Susilo Bambang Yudhoyono dikenal gemar menciptakan lagu, bahkan sudah menelurkan beberapa album sepanjang masa jabatannya sebagai Presiden Indonesia, namun saya menyangsikan keterlibatan beliau dalam pembuatan lagu mars Partai Demokrat yang begitu megah dan gagah ini. Kemegahan lagu mars partai ini sanggup membuat kita takjub dan berbagai kasus dan pelanggaran yang telah dibuat para petinggi dan elit partai, sejenak bisa terlupakan.


3. Partai Amanat Nasional (PAN)


Dengan irama yang terasa biasa-biasa saja dan opening lagu yang cukup berlebihan untuk ukuran sebuah partai yang katanya mengemban amanat nasional, namun lirik lagu mars partai ini dengan lugas dan jelas menggambarkan semangat cita-cita luhur kaum reformis ketika partai ini didirikan. Namun lirik lagu partai yang cukup puitis ini bisa saja sewaktu-waktu berubah menjadi lebay dan berlebihan apabila kita mengingat wajah Amien Rais. Walaupun 'dosa-dosa' partai ini tidak sedahsyat PKS dan Demokrat, tapi lagu mars Partai Amanat Nasional ini justru malah mengingatkan saya pada kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat para petinggi partai ini. Sekecil apapun itu.


4. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)


Bila dibandingkan dengan lagu 'Prabowo-Hatta' gubahan Ahmad Dhani, saya jelas lebih memilih lagu ini. Selain memang karena masalah orisinalitas dan unsur-unsur fasis yang terkandung di dalamnya, lagu ini jelas lebih baik untuk dijadikan lagu latar untuk berbagai tayangan iklan partai yang bertubi-tubi belakangan ini.
Tapi entah kenapa begitu pertama kali saya mendengarkan lagu mars Gerindra ini, yang pertama kali terbayang oleh saya adalah sekelompok taruna yang sedang menjalani ospek yang dipaksa untuk bernyanyi di bawah tekanan. Walau secara keseluruhan saya cukup menyukai lagu mars partai ini, tapi untuk sebuah partai besar yang dipimpin oleh seorang mantan Jenderal Kopasus, lagu mars Partai Gerindra ini masih kurang jantan dan kurang gagah.


 5. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)


Setelah bisa dikata cukup berjaya pada beberapa pemilu yang lampau, namun seiring waktu berjalan, citra PKS yang awalnya dikenal jujur dan militan perlahan tergerus. Mulai dari kebijakan-kebijakannya yang terkadang tak masuk akal, kontroversi Tifatul Sembiring dengan berbagai tingkah polahnya, sampai ketua partai Lutfhi Hasan Ishaaq dan beberapa elit partai yang ditangkap KPK akibat keterlibatannya dalam korupsi dalam kasus impor daging sapi.
Tapi di luar segala centang- perenang urusan partai, saya menilai bahwa lagu mars PKS punya nilai tersendiri dibandingkan lagu-lagu mars peserta pemilu 2014 ini. Citra partai yang sedang ternoda seolah-olah tertutup oleh lantunan syahdu sekaligus kemegahan barisan nasyid militan yang berbaris dengan gagah mengusung panji-panji partai.  Dan seperti Partai Demokrat, mars PKS sukses menutupi kebobrokan partainya sendiri. Bravo!


6. Partai Pembangunan Persatuan (PPP)


Sebelum kita mendengarkan lagu mars partai ini, pertama-tama kita harus membuang jauh-jauh imej Surya Dharma Ali yang terlalu identik dengan partai berlambang Ka'bah ini. Tinggalkan dosa-dosanya, lupakan wajahnya dari benak kita. Sudah? Kalau belum bisa juga melepaskan imej SDA, sebaiknya anda tidak perlu bersusah payah mendengarkan lagu mars partai ini karena hanya akan membuat anda merasa kecewa. Keluar dari lirik lagu yang begitu mulia, lagu yang mars gagah dan berirama cepat ini sangat cocok untuk mengiringi kegiatan baris-berbaris jawara-jawara Tanah Abang binaan H. Lulung. Bernasib sama dengan PAN, lagu mars PPP ini tidak mampu memunculkan imej positif dari partai maupun petinggi-petingginya.


7. Partai Bulan Bintang (PBB)


"Waktu terang bulan udara bersinar terang, teranglah sekali di kotalah Surabaya..dst dst.." Demikian sepenggal bait dari lagu yang berjudul Tanjung Perak yang dipopulerkan oleh Waljinah. Kenapa saya menghubungkan lagu Tanjung Perak dengan lagu mars Partai Bulan Bintang? Saya pun tak tahu. Mungkin saya melihat ada kemiripan nada di awal-awal lagu. Selebihnya saya tidak bisa berkomentar banyak. Menurut catatan, PBB adalah partai paling bersih dengan nomor urut paling bawah (hanya 1,14%) dalam kiprahnya di ajang korupsi nasional. Tidak banyak yang bisa saya komentari dari lagu mars PBB ini. Dengan nada yang monoton dan lirik yang datar-datar saja, mungkin kedepannya PBB bisa bekerjasama dengan musisi untuk mengaransemen ulang mars partainya supaya bisa menarik simpati publik serta meraup suara lebih banyak di pemilu-pemilu mendatang.


8. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)


Setelah saya mendengar lagu mars Partai Hanura, maka saya memaklumi bila di awal pilpres kemarin Partai ini terpecah. Wiranto bergabung dengan PDIP mendukung Jokowi, sementara Harry Tanoe merapat ke dalam poros koalisi GERINDRA yang mendukung Prabowo. Selain sebagai cerminan jiwa semangat partai, fungsi lagu mars adalah sebagai pemersatu yang mengiringi derap langkah barisan para anggota partai untuk berjuang bersama menuju Indonesia yang lebih baik. Dan dalam hal ini, lagu mars Partai Hanura telah gagal dalam fungsinya. Mungkin untuk di masa yang akan datang, lagu mars partai bisa didaur ulang atau mungkin sekalian diganti dengan lagu yang baru.


9. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)


Setelah mendengarkan lagu mars PDIP sampai selesai, saya merasa seperti seekor banteng yang sedang tersenggal-senggal di tengah arena, menunggu untuk menerima tikaman pencabut nyawa dari matador. Dengan tempo yang terlalu bersemangat dan nada yang menyentak-nyentak seperti itu, beberapa politisi PDIP yang perokok berat, pasti akan cukup susah payah menyelesaikan lagu mars partainya sendiri. Seperti lagu-lagu mars partai lainnya, tidak ada satupun catatan mengenai pencipta lagu mars PDIP ini, sehingga saya sulit mencari latar belakang atau motif sang komposer untuk menciptakan lagu dengan irama seperti ini. Saran saya, ada baiknya kalau mars PDIP ini janganlah terlampau sering dinyanyikan. Sebab bisa membahayakan kesehatan jantung para anggota partainya.


10. Partai Golongan Karya (Golkar)


Partai Golkar adalah salah satu partai tertua yang ikut dalam pemilu kali ini. Tidak perlu dikupas lagi tentang sepak terjang dan kebobrokan partai ini selama puluhan tahun berdiri. Durasi yang cukup lama untuk ukuran sebuah lagu mars partai (3 menit 10 detik), ditambah tempo dan semangat tinggi, maka kita akan sulit sekali menghafal atau bahkan memaknai tiap bait lirik lagu ini. Niat yang baik, tulus dan ikhlas sering kali tertutupi oleh semangat juang semu. Belum lagi kalau kita melihat dari tinjauan kesehatan, sudah jelas ini merupakan alasan utama partai Golkar selalu menyertakan kelompok paduan suara dari pemuda-pemudi yang sehat untuk menyanyikan lagu mars partainya. Setali tiga uang dengan PDIP, lagu mars Partai Golkar hampir-hampir tidak mungkin dinyanyikan oleh para anggota partainya yang rata-rata sudah berumur. Menimbang dari sisi kesehatan, maka ada baiknya supaya tempo lagu ini bisa diperlambat dan durasinya diperpendek. Atau alangkah lebih baik jika Golkar melibatkan Tantowi Yahya dalam menggubah lagu partainya.


11. Partai Nasional Demokrat (Nasdem)


Purwacaraka dan Inggrid Wijanarko adalah dua nama yang sudah tidak asing lagi dalam blantika musik tanah air, namun lagu mars jelas jauh berbeda dengan lagu pop, baik itu dari susunan kata, nada dan iramanya. Alih-alih menciptakan lagu yang gagah dan penuh semangat, lagu mars Partai Nasdem justru malah melempem. Dari suara bariton yang cukup dominan di dalam lagunya, saya mencurigai adanya keterlibatan ketua partai, Surya Paloh dalam lagu mars Nasdem. Kita jelas tidak akan mendapatkan hasil dan kepuasan yang maksimal ketika kreatifitas seniman dibatasi oleh aturan yang baku dan kaku. Namun benarkah ada intervensi Surya Paloh dalam pembuatan lagu mars partainya? Wallahu a'lam...


12. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)


Dari semua lagu mars partai peserta pemilu 2014, hanya lagu mars dari PKPI yang bisa membuat saya bernostalgia dengan kenangan-kenangan masa kecil saya dahulu. Ketika setelah selesai mandi, saya harus duduk manis di depan radio dan mendengarkan kaset sandiwara 'Sanggar Cerita'. Ada kemiripan di bagian refrain lagu mars PKPI dengan lagu sandiwara Sanggar Cerita. Alih-alih menjadi lagu mars yang gagah dan membahana, lagu PKPI justru terdengar jenaka. Cocok sekali untuk mengiringi anak-anak sekedar sarapan atau berolahraga. Mungkin untuk di masa yang akan datang, PKPI tidak perlu ikut-ikutan megah dan gagah sehingga menimbulkan militansi semu seperti partai-partai lain. Cukup dengan melibatkan Papa T Bob atau Ria Enes, maka anak-anak dengan sendirinya akan meminta agar orang tuanya untuk memilih PKPI.


Demikianlah ulasan yang saya lakukan ketika anak saya, Merdu, sedang tidur siang.


Agan Harahap

*Penikmat politik dan pemerhati musik yang sok tau