Rabu, 23 Juli 2014

Perihal 'Respon Kritis-Kreatif' Di Media Sosial





Siang tadi saya cukup terusik dengan pernyataan Tantowi Yahya, juru bicara calon presiden Prabowo Subianto, yang mengeluhkan banyaknya netizen yang membully Prabowo perihal keputusannya yang mengejutkan untuk menolak hasil rekapitulasi KPU. Sebuah pernyataan yang menurut saya mencerminkan sikap 'primitif' untuk seorang politisi sekaliber mereka dalam menyikapi timbulnya berbagai reaksi yang terjadi di jejaring sosial media. 

Tidak seperti dengan media-media konvesional yang masih bergantung pada jumlah cetak, oplah atau bahkan mungkin kolom pembaca dalam membentuk interaksi dengan pemirsanya, khalayak pengguna jejaring sosial dengan serta-merta dapat langsung merespon, menanggapi dan menyebarkan hal apapun yang berlaku di medan sosialnya.
Memang tidak ada patokan normatif yang digunakan sebagai tolak ukur dalam merespon berbagai hal yang terjadi dalam jejaring sosial. Semua orang bisa dengan serta-merta dan semena-mena menyuarakan isi hatinya. Masih segar di ingatan saya ketika ribuan pengguna media sosial menyuarakan 'pendapat kritisnya' (bullying?)  terhadap seorang ketua panitia acara yang dianggap gagal merealisasikan perhelatan musik akbar yang akhirnya menyebabkan korban memutuskan untuk mengakhiri hidupnya setelah mengalami 'penghakiman massal' di jejaring sosial media. Tidak ada proses hukum dan peradilan yang berlaku terhadap kejadian tersebut. Sebaliknya, fenomena ini justru berbanding terbalik ketika seorang Prita Mulyasari dipaksa untuk bertanggung jawab' karena menyuarakan ketidakpuasannya atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional di milis. Dan saya rasa kita tidak perlu berpanjang lebar membicarakan UU ITE yang masih harus terus 'dimodifikasi' disana-sini sesuai dengan perkembangan teknologi.
Setiap orang tentu mempunyai pendapat dan respon yang berbeda dalam memproduksi atau menanggapi suatu hal atau fenomena yang sedang terjadi, tergantung dari berbagai latar belakang dan kepentingannya. Sudah semestinya, sebagai pengguna jejaring sosial mengetahui dan bisa menyikapi hal-hal yang mendasar seperti ini. Apalagi para elit politik disana yang kerap menjadi sorotan publik, sudah seyogyanya mengetahui bahwa setiap tindak tanduk dan perbuatannya dapat menimbulkan reaksi baik positif maupun negatif di jejaring media sosial.

Perkembangan teknologi informatika yang sedemikian pesatnya, tanpa disadari sudah turut berkontribusi dalam pembentukan karakter masyarakat dalam suatu medan sosial tertentu dalam menyikapi suatu persoalan. Keadaan ini dipertegas (atau diperparah) lagi dalam masa kampanye pilpres, ketika begitu banyak oknum atau instansi yang dengan sengaja meniupkan isu-isu miring secara massive seputar pribadi capres demi merebut atau menjatuhkan simpati publik terhadap calon pasangan tertentu. Beberapa golongan dalam masyarakat yang masih lemah dan lugu akan aktualisasi dan akurasi informasi, dapat dengan mudah terpengaruh dan secara otomatis justru malah memperbesar efek negatif dari berita/isu yang tidak jelas asal-usulnya tersebut. Alhasil kedua kubu yang berseberangan menjadi semakin fanatik dan militan terhadap jagoannya masing-masing. Setiap berita tentang capres-cawapres yang dibaca dapat dengan mudah dijadikan bahan untuk memicu gesekan dan benturan antar netizen.

Berbagai interaksi yang terjadi di berbagai jejaring sosial semasa pilpres tidak melulu marak diisi oleh tulisan atau berita-berita miring seputar capres-cawapres terkait. Bahasa gambar (fotografi, video, meme dsb) juga turut memegang peranan penting atas dinamika yang terjadi di jejaring sosial belakangan ini. Tidak hanya berperan sebagai pelengkap berita, tapi gambar juga bisa berdiri sendiri untuk membentuk, meluruskan atau bahkan membelokkan opini publik. Akhirnya, perang visual pun tak dapat terelakkan lagi. Kedua kubu saling menyerang dengan berlomba-lomba menyebarkan gambar-gambar baik itu foto asli maupun foto rekayasa. Baik itu yang bersifat parodi ataupun fitnahan keji. Untuk gambar-gambar yang berada di ranah parodi, jelas dibutuhkan spontanitas dan kreatifitas dalam membaca situasi yang terjadi dan kemudian menggubahnya dalam bahasa komedi visual. Alih-alih terbakar karena emosi yang membabi buta,  'Perang Badar' yang terjadi di ranah parodi visual justru banyak menarik minat netizen untuk meramaikan atau bahkan terkadang malah meredakan ketegangan yang kerap terjadi di antara kedua kubu yang berseberangan. Sayangnya, perbandingan jumlah produsen gambar-gambar parodi itu tidak seimbang. Karena begitu gencarnya serangan gambar parodi kreatif ini, sehingga membuat salah satu kubu merasa dibully oleh kubu lainnya.

Kembali kepada pernyataan Tantowi Yahya perihal keluhan timnya terhadap berbagai 'respon kreatif' yang ditujukan kepada Prabowo Subianto. Saya rasa tidak sepantasnya bila sekelompok politikus kawakan yang mempunyai puluhan atau bahkan ratusan ribu followers, merasa tersinggung dan lantas mengeluh atas berbagai respon kreatif yang datang dari berbagai penjuru. Belum lagi bila kita mengingat perilaku beberapa elit pendukung koalisi yang kerap 'nyinyir' dan acap kali melontarkan statement-statement provokatif tak berdasar di lini masa yang tidak pantas dilakukan oleh seorang yang mengaku negarawan. Berbagai 'respon kreatif' yang anda terima, kiranya jangan melulu dipandang sebagai suatu hal yang buruk, melainkan bisa dijadikan sebagai bahan refleksi permenungan untuk bersikap dan berlaku dengan lebih baik lagi di masa-masa yang akan datang. 



Agan Harahap









Kamis, 10 Juli 2014

Antara Sting, Jokowi Dan Saya



Dini hari, di penghujung Pemilu Presiden 2014 yang baru saja berlalu, jutaan rakyat Indonesia yang masih terjaga menunggu waktu sahur, tiba-tiba dikagetkan oleh sebuah berita yang tersebar di media sosial tentang adanya dukungan dari Sting, musisi legendaris asal Inggris, yang ditujukan untuk salah satu kandidat presiden, Joko Widodo. 
Selain Sting, musisi Jason Mraz dan grup band Arkarna pun menyatakan dukungannya kepada Jokowi. Tak hanya itu, Vicky Vette, bintang film porno yang selama ini 'cukup akrab' dengan segala permasalahan di Indonesia, turut menyatakan dukungannya untuk Jokowi. 

Berita tentang berbagai dukungan dari publik figur luar negeri itu tersebut langsung tersebar dengan cepat di berbagai jejaring sosial di Indonesia. Begitu banyak reaksi yang timbul pada dini hari itu. Sebagian pendukung Jokowi yang masih bangun (termasuk saya) lantas menyebarkan kabar gembira itu di berbagai lini masa medan sosial saya. Untuk para pendukung kandidat presiden nomor urut 1, Prabowo Subianto, berita tersebut mungkin menjadi momok bagi mereka. Banyak tudingan-tudingan miring yang dilontarkan atas dukungan musisi tersebut.


KATA SIAPA DUKUNGAN STING UNTUK JOKOWI ITU HOAX?!? ini fotonya!!

Sebagai seniman yang kerap menggunakan media sosial sebagai medium dalam berkarya, saya langsung tanggap akan situasi yang terjadi pada dini hari itu dan segera merespon kehebohan itu. 
Saya segera membuat 'pembenaran hiperbolis' akan adanya dukungan Sting kepada Jokowi dengan membuat 'realita baru' sekedar untuk meramaikan suasana saat itu. Tak disangka, karya tersebut banyak mendapat respon dari netizen pada dini hari itu. Foto saya dengan cepat langsung tersebar luas di jejaring sosial. Beberapa teman yang memang sudah cukup akrab dengan gaya berkesenian saya, terhibur senang. Dan saya pun tertidur dengan pulas. Setidaknya, karya saya sudah bisa membahagiakan orang. 

Keesokan harinya, saya mendapati ratusan notifikasi perihal foto yang saya unggah beberapa waktu yang lalu. Dan saya pun tersenyum akan berbagai tanggapan yang masuk. Baik itu dengan nada yang memuji maupun dengan nada yang mencemooh. Sebagian pendukung Jokowi yang percaya, secara otomatis langsung mempertahankan perihal keabsahan foto itu. Sementara pendukung Prabowo terlihat mati-matian menampik dengan berbagai cara sampai meminta justifikasi dari promotor yang mendatangkan Sting dalam konsernya di Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Pendek kata, foto Sting dan Jokowi bikinan saya cukup menghebohkan lini masa orang-orang di pagi dan siang hari itu.

"@panca66 : Iba kita :) RT @SuleTegepe : @panca66 ini bro yang lu maksud editan. Jelas banget #editanmurahan

@BagusMarwoto hasil sotosop dari gambar Roger Friedman and Sting

Alih-alih semakin mereda, menjelang sore sebuah media memberitakan kabar bahwa foto Jokowi dan Sting itu adalah 100% rekayasa photoshop. Rupa-rupanya, untuk sebagian orang butuh waktu seharian untuk meneliti tentang orisinalitas foto ini. Dan sebagai konsekuensinya, ratusan netizen langsung bereaksi dengan merespon kembali foto tersebut dengan berbagai ekspresi. Tidak ada yang salah dengan ratusan respon itu, karena itu adalah bagian konsekuensi dan dinamika dalam berkehidupan di jejaring sosial media. 

Yang menarik disini adalah bagaimana cara pandang dan tindakan kita dalam menyikapi suatu 'realita baru' yang kadang bertentangan atau bahkan terlalu sejalan dengan hati nurani yang membutakan akal sehat, sehingga dapat dengan mudah diperdaya oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab (termasuk saya?). Ditambah lagi dengan animo massa yang begitu menggelora dari kedua kubu kandidat presiden, sehingga apapun yang sesuai dengan harapannya, langsung ditelan bulat-bulat dan semua yang tidak sejalan dengan harapannya akan diterjang dan ditentang habis-habisan. 

Pemilu Presiden sudah selesai dengan segala problematikanya. Kini kita memasuki masa-masa penantian akan kandidat mana yang akan keluar sebagai pemenang, pengemban amanat rakyat Indonesia. 
Karya ini hanyalah sebagian kecil dari ratusan atau bahkan ribuan kabar hoax yang beredar seputar urusan pilpres ini. Dan di dalam masa-masa penantian yang dipenuhi berbagai kecemasan dan harapan ini, hendaknya kita selalu mengedepankan logika dan akal sehat dalam menghadapi sebuah realita baru.


Agan Harahap



Senin, 07 Juli 2014

KARTU POS UNTUK JOKOWI-JK







A: 'Massa pendukung Jokowi itu besar loh!' B: 'Oyah? Gak percaya ah!' A: 'Ini bukti fotonya..'

Dalam dua hari lagi, Indonesia akan menjalani Pemilihan Umum Presiden (pilpres). Sebuah keputusan besar yang melibatkan seluruh bangsa Indonesia untuk menentukan masa depannya. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, kali ini animo masyarakat sangat menggebu-gebu untuk mengikuti ajang pesta demokrasi 5 tahunan ini. Saya, sebagai orang yang tidak pernah antusias dan peduli dengan pemilu atau pilpres, kali ini bersama-sama dengan jutaan masyarakat Indonesia lainnya dengan semangat turut berpartisipasi untuk menyukseskan pemilihan umum. Adapun semangat ini muncul karena kami, rakyat Indonesia sudah terlalu muak dengan berbagai sistem pemerintahan dan situasi politik yang terjadi selama puluhan tahun di negara ini. Bersembunyi di balik Pancasila dan semangat reformasi, petinggi-petinggi ini justru merampok dan mengeruk kekayaan negara ini di segala sektor. Tak hanya urusan korupsi, berbagai organisasi masyarakat tumbuh menjamur dan bisa berlaku anarkis terhadap yang tak sepaham dengan ideologinya.

Setelah melalui berbagai tahapan, pemilihan presiden kali ini hanya menyisakan 2 pasang kandidat calon presiden dan wakil presiden yang akan maju menuju tampuk kepemimpinan tertinggi di negara ini. Pertarungan para elit politik di atas sana berimbas ke segala lini kehidupan sosial masyarakat.
Bahkan media yang seharusnya bersifat netral, mau tidak mau, jadi ikut berpihak untuk kemenangan calon presidennya. Banyaknya media-media baru yang tidak kredibel dan tidak jelas sumbernya pun banyak bermunculan dan melulu menebar fitnah pada salah satu capres sehingga memperkeruh suasana. Akibatnya, banyak kalangan masyarakat yang dengan mudah percaya dan akhirnya turut membantu penyebaran berbagai fitnah ini di medan sosialnya. Berbagai gesekan dan benturan antar kelompok pendukung kedua capres tidak dapat dihindari lagi. Begitu banyak sahabat, saudara bahkan keluarga yang selama ini menjalin hubungan yang harmonis menjadi bertentangan karena berbeda pendapat dan ideologi dalam mengusung calon presiden favoritnya.

Sebagai seorang seniman yang kerap berkarya dengan menggunakan jalur distribusi media sosial, saya cukup akrab dengan berbagai berita miring maupun kabar fitnah yang beredar di berbagai lini masa jejaring sosial semasa pemilihan presiden ini. Saya mencoba untuk merespon situasi ini dengan menjadikannya sebagai sebuah rangkaian karya parodi disertai berbagai petuah-petuah bijak, sekaligus menyuarakan dukungan saya untuk salah satu kandidat presiden.


Berfoto bersama salah satu warga Amerika yang merupakan pendukung fanatiknya

"Bro, persahabatan dan silaturahmi itu nomor satu. Kalau presiden itu nomor dua".
Kekuatan dan kedigdayaan bukanlah faktor utama agar bangsa kita dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain

Bukti bahwa Jokowi adalah antek Amerika. Terlihat dari baju yang dikenakannya bergambar bendera Amerika


Bersama rekan-rekan dari Tiongkok. Cai Guo-Qiang, Ai Weiwei dan Zhang Huan

Usia bukanlah halangan utama untuk akrab dengan para pemuda
"Bicara soal rasa, itu cuma masalah selera. Yang terutama adalah asupan gizi dan vitamin yang cukup. Urusan presiden, itu nomor dua sajalah"
Semua akan berjalan dengan baik bila dikerjakan oleh orang yang kompeten di bidangnya

Yang dibutuhkan oleh bangsa ini bukanlah orang yang piawai dalam bersilat lidah menebar kata-kata indah dan membuai, tapi bukti kerja yang nyata.
SBY: 'Duh..Kok gelap yaa? Apa ISO-nya kurang gede yaa?' JKW: 'hmm..Nganu mas, mungkin tutup lensanya bisa dibuka dulu..' Ucapnya sambil tersenyum bijak menenteramkan hati
Bahwa semua yang terekam, tidak akan pernah mati, dik..

Kesederhanaan dan kejujuran adalah kunci utama agar kita bisa menjalin kerjasama dan tali silaturahmi dengan negara-negara di dunia
Kekayaan serta kekuatan hanyalah bersifat sementara di dunia fana ini mas.. Kesemuanya itu tak akan berarti apa-apa tanpa ketulusan dan niat baik serta kepedulian terhadap sesama.
Gelimang harta memang kerap menyilaukan mata. Namun pribadi yang jujur, sederhana dan merakyat ditambah hati yang tulus serta semangat untuk membangun, itulah yang abadi di dalam hati.
Segala kekuatan dan keberanian yang kau teriakkan itu akan sia-sia tanpa diikuti dengan tekad bulat yang bersumber dari hati nurani yang tulus dan ikhlas




Waktu masih ada, walau tinggal sedikit lagi. Tapi hendaklah kita tinggalkan sentimen agama dan berbagai isu, rumor dan kabar burung yang beredar. Mari kita sukseskan Pemilu 2014 ini dengan memilih calon presiden dengan didasari oleh hati nurani dan akal yang sehat untuk menentukan nasib bangsa kita di kemudian hari. 
Berikut saya sertakan tautan untuk mengunduh rangkaian serial ini. Masih ada sedikit waktu untuk mencetak dan membagikannya kepada orang-orang terkasih anda.
Dan kalaupun pemilu yang meriah ini kelak akan berakhir, kiranya karya-karya ini bisa disimpan sebagai kenangan, bahwa kita pernah menjalani dan terlibat dalam sebuah pesta demokrasi yang paling meriah dalam sejarah bangsa Indonesia.



Salam dua jari.


Agan Harahap