Senin, 28 April 2014

Antara Saya Dan Bola Basket




-->
Pada era 90-an, olahraga bola basket sempat merasuki anak-anak muda di Indonesia.
Hampir semua orang mengenakan atribut basket. Sepatu yang terkenal pada era itu adalah Reebok Pump ( selain Nike Air Jordan, tentunya). Tak hanya dari segi fashion, demam basket ini pun semakin menggila dengan munculnya lagu ‘Nombok Dong’ yang dinyanyikan oleh rapper legendaris Indonesia, Iwa K. Video klip lagu ini berisikan aksi-aksi dunk (nombok) mutakhir yang diperagakan oleh pemain-pemain top nasional. 
Sementara NBA Action yang ditayangkan pada hari Sabtu, sudah menjadi tontonan wajib yang tak mungkin dilewatkan. Karena tayangan NBA games pada waktu itu hanya bisa dinikmati melalui antenna parabola, maka Liga Kobatama pun menjadi sarana pelampiasan kami. Bahkan saya dulu bisa menghafal semua starter-starter dari seluruh tim yang berlaga di kompetisi basket nasional itu.
Selain itu, brand semacam Upper Deck, Flairs, Finest, Hoops menjadi primadona. Yak, nama-nama tadi adalah merk kartu basket. Hampir semua anak-anak pada era itu memiliki kartu basket. Baik itu untuk di koleksi sendiri atau bahkan untuk diperdagangkan di tempat-tempat tertentu.
Berikut adalah sekelumit ‘kisah percintaan’ saya dan bola basket yang telah berlangsung selama puluhan tahun sampai sekarang dan tetap tidak akan luntur sedikitpun sampai nanti akhir menutup mata.

Berpose bersama kostum basket kebanggaan saya. PSKD 3 #14

Mengawali Karier Sebagai Pemungut Bola Dari Got

Kisah ini dimulai tahun 1991 ( 23 tahun yang lalu). Saat itu saya hanyalah seorang anak bawang di daerah Cempaka Putih Timur. Saban sore saya selalu menyaksikan anak-anak komplek yang lebih besar bermain bola basket di lapangan kecil yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah saya.
Selain mengamati jagoan-jagoan itu beraksi, sebagai anak bawang, tugas saya adalah mengambil bola basket yang tercebur ke got atau masuk ke pekarangan rumah orang. Maklum saja, lapangan yang saya maksudkan disini tak lebih dari sebuah ring yang dipasang di pinggir jalan di depan rumah seorang jawara basket komplek itu.
Setiap hari saya selalu saja dibuat terkesima dengan gerakan-gerakan mereka yang begitu piawai dalam memasukkan bola ke dalam keranjang. Karena tidak pernah diberi kesempatan untuk mencoba dan bermain, maka saya memutuskan untuk membeli bola basket saya sendiri. Bola basket pertama yang saya miliki itu bermerk Mikasa. Bola seharga 20 ribu rupiah itu saya beli di toko olahraga di Pasar Cempaka Putih. Akhirnya, saya pun bisa mencoba bermain di lapangan itu. Sepulang sekolah (pk. 1-2 siang), saya langsung mengganti seragam dan bermain basket di lapangan itu seorang diri. Dan pada sore harinya, saya kembali ‘dinas’ dengan  menyaksikan senior-senior itu bermain sambil meniru berbagai gaya mereka. Saat itu saya masih duduk di kelas 5 SD. Dan SD BPK Penabur 3, sekolah saya pada waktu itu, tidak ada pengenalan tentang basket sedikitpun dalam kurikulum mata pelajaran olahraga. Kegiatan sebagai pemungut bola di got itu tetap saya jalani dengan sukacita sampai saya tamat SD.

Karena mungkin memang otak saya yang kurang sesuai untuk belajar di SDK Penabur, maka orang tua saya memutuskan untuk menyekolahkan saya ke sekolah yang jauh lebih ‘toleran’. Sekolah itu bernama SMP 1 PSKD.
Saya yang datang dari SD yang bergengsi, wajar saja bila sedikit shock karena kelakuan kawan-kawan sekolah yang sungguh berbeda dari apa yang selama ini saya alami. Tawuran, narkotika bahkan seks (kecuali tawuran, semuanya masih dalam kadar yang bisa ditolerir) rasanya sudah menjadi hal yang lumrah ditempat itu. Sejujurnya dalam beberapa hari pertama, saya cukup merasa tertekan dan sempat memohon kepada orang tua saya agar saya dipindahkan dari sekolah itu guna menyusul kawan-kawan intelektual saya ke SMP Penabur.

Tapi keinginan itu berubah seketika setelah hari pertama pelajaran olahraga. Yak, hari pertama pelajaran olahraga diisi dengan bermain basket 2 jam penuh. Kebetulan juga sekolah kami mempunyai lapangan yang lebih layak daripada lapangan yang selama ini saya pakai untuk berlatih di rumah.
Saya masih ingat, pada tahun ajaran pertama di SMP itu, setelah bel istirahat berbunyi, maka saya bersama Ronald Tampubolon, Joey Basiha, Rubein Novelino dan beberapa kawan lain segera bergegas ke kantin untuk memesan makanan dan langsung duduk mengambil tempat yang terbaik di sisi lapangan guna menyaksikan senior-senior itu bermain basket.
Yang membuat saya cukup bangga adalah, bahwa sekolah itu mempunyai tim basket yang cukup disegani di kejuaraan-kejuaraan SMP pada jaman itu. Senior-senior anggota tim basket sekolah menjelma menjadi selebrit-selebriti kecil. Hampir semuanya memiliki pacar yang cantik. Sehingga saya yang bertampang pas-pasan ini pun  diam-diam menyimpan ambisi besar, supaya kelak saya bisa bergabung dalam jejeran orang-orang terpandang itu. Dan sebagai langkah awal, saya pun segera mendaftar dalam kegiatan ekstrakurikuler bola basket. Lantaran bola basket, saya tidak pernah lagi berlatih sendiri siang-siang di lapangan komplek. Sepulang sekolah, saya langsung bermain basket dan baru pulang ke rumah menjelang sore hari. Otomatis, karier saya sebagai pemungut  bola yang tercebur di got selesai!

Setiap sehabis ujian catur wulan, sekolah kami selalu mengadakan pertandingan olahraga antar kelas. Dan tentu saja, pertandingan basket 3 on 3 menjadi ajang yang selalu disesaki penonton. Terutama wanita-wanita cantik yang ada di sekolah itu. Saya bersama kawan-kawan kelas 1A, sukses mengantarkan kelas kami maju sampai ke babak perempat final. Sebuah prestasi yang cukup membanggakan karena kelas kami adalah satu-satunya kelas 1 yang bisa menembus babak itu dengan mengalahkan kakak kelas. Seluruh siswa kelas 1 tak putus bersorak-sorai menyemangati kami ketika bertanding. Walau akhirnya perjuangan kami terhenti oleh 3 orang jagoan sekolah, namun hari itu adalah hari pertama saya merasa bangga akan prestasi basket saya.

Saya melewati tahun pertama di SMP itu dengan gilang gemilang. Selain masuk ranking 10 besar, saya pun sukses dalam olahraga bola basket. Memasuki kelas 2, saya pun akhirnya dipanggil untuk masuk dalam jejeran tim bola basket SMP kami. Walaupun saya tidak bermain di dalam pertandingan, tapi saya cukup bangga bisa berlatih bersama ‘para selebriti’ di sekolah itu.

Selain bermain di rumah dan di sekolah, saya pun kerap bermain di lapangan Don Bosco di daerah Sunter. Ronald Tampubolon, sahabat saya dari SMP ini lah yang pertama mengajak saya bermain di lapangan itu.
Itu adalah kali pertama saya untuk bermain di lapangan besar (ukuran sebenarnya). Di lapangan Don Bosco itu pulalah saya berkenalan dengan kawan-kawan baru.
Setiap hari, rasa cinta saya terhadap bola basket semakin besar. Dan hampir tidak ada hari tanpa bola basket. Baik itu panas atau hujan, saya selalu menyempatkan diri untuk berlatih. Baik itu latihan dilapangan maupun latihan fisik. Latihan fisik yang saya lakukan di rumah rupa-rupanya cukup membuat pusing kedua orang tua saya karena plafon atau langit-langit rumah penuh dengan bekas jari-jari saya. Yak, setiap hari saya selalu melatih lompatan saya dengan menyentuh plafon rumah saya. Bila hari hujan dan tidak ada waktu yang tepat untuk bermain di lapangan, saya pun melatih assit dan dribbling di garasi. Alhasil, seluruh tembok garasi penuh dengan bekas pantulan bola basket yang membuat ayah saya geleng-geleng akibat kelakuan anaknya ini.


Sepatu Basket

Seiring waktu berjalan, posisi sebagai anak bawang di komplek rumah pun sudah saya tinggalkan. Selain beberapa kawan komplek yang sudah masuk dunia kuliah, saya pun sekarang punya beberapa ‘petugas’ yang selalu memungut bola saya yang masuk ke got. Ya, saya sudah menjadi senior di komplek itu. Saya sukses meladeni pemanin-pemain dari komplek lain yang sengaja datang menantang kami. Begitupun sebaliknya.
O iya, asal tahu saja, bahwa permainan basket di komplek kami tidak menggunakan sepatu. Hanya menggunakan sandal jepit merk swallow atau bahkan dengan kaki telanjang. Maka dari itu, permainan bisa terhenti apabila ada kaki yang berdarah atau bahkan kuku yang copot karena tergesek aspal. Dan lirik lagu Nombok Dong dari Iwa K itu pun kami pelesetkan menjadi “hidup di lapangan, dengan darah bercucuran..dst dst..”

Sepatu seperti ini lah yang menjadi sepatu basket pertama saya

Saya dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Pada era itu, sepatu basket merupakan barang bergengsi. Seseorang akan terlihat ‘wah’ bila ia mengenakan sepatu Air Jordan, LA Gear-nya Hakeem Olajuwon, Reebok O’neal atau Adidas Kobe Bryant. Tak heran harganya pun selangit sehingga saya tidak sampai hati untuk merengek kepada orang tua saya dan untuk dibelikan sepatu basket.  Waktu itu saya hanya punya satu sepatu terkadang merk Spotec atau lebih sering mengenakan Eagle. Baik itu untuk sehari-hari bersekolah dan bermain basket.
Untuk sekedar bermain dan bertanding, saya kerap meminjam sepatu milik kawan saya. Rupa-rupanya, ayah saya diam-diam menaruh simpati terhadap anaknya yang kerap meminjam sepatu basket ketika bermain. Pada suatu hari yang berbahagia, tanpa disangka-sangka ayah mengajak saya ke Mall Kelapa Gading. Dan beliau mempersilakan saya untuk memilih sepatu basket. Dengan menimbang berbagai kemungkinan dan prihatin akan faktor ekonomi keluarga, maka pilihan saya jatuh pada sepatu basket merk nike berwarna hitam karena bisa sekaligus dipakai untuk bersekolah sehari-hari. Harga sepatu itu cukup mahal, 250 ribu rupiah. Sebuah nominal yang cukup fantastis pada era itu. Namun harga sepatu itu masih jauh lebih murah dibanding sepatu-sepatu lain yang kerap digunakan oleh pemain-pemain NBA.
Tidak ada yang special dengan sepatu basket pertama saya itu. Bentuknya sederhana, tidak ada desain yang aneh-aneh bahkan lampu yang menyala-nyala. Selang beberapa waktu kemudian, saya mendapat ‘kabar baik’ dari seorang sahabat saya. Rupa-rupanya ,Anfernee ‘Penny’ Hardaway (tandem Shaquille O’Neal dari Orlando Magic) juga mengenakan sepatu yang sama dengan yang saya pakai. Dan semenjak hari itu ,saya bangga mengenakan sepatu itu.

Sepatu Adidas Kobe Bryant


Sepatu basket lainnya yang cukup mempunyai kenangan adalah sepatu merk Adidas edisi Kobe Bryant. Sebagai penggemar basket dari kalangan menengah ke bawah, untuk menggali info seputar NBA, saya pun berlangganan tabloid Bola. Memang tidak banyak informasi yang saya dapatkan disana, tapi setidaknya ulasan-ulasan Eko Widodo, Reinhard Tawas, Ary Sudarsono atau bahkan Helmy Yahya cukup memberi informasi yang saya butuhkan.
Dari tabloid itu pula lah saya mendapatkan informasi tentang adanya bazaar barang-barang olahraga bekas atlet. Saya bersama beberapa kawan pergi menuju kantor Kompas-Gramedia di Pal Merah guna mengais rejeki. Siapa tahu ada barang memorabilia basket bekas yang bisa kami miliki disana. Siang itu rupanya bintang keberuntungan saya sedang bersinar. Dan saya pun sukses membawa pulang sepatu Adidas Kobe dengan harga yang sangat murah. Dan menurut tulisan yang tertera disana, sepatu yang saya beli itu bekas digunakan oleh Ali Budimansyah. Seorang pemain basket professional Tanah air. Sepatu itu terus saya gunakan sampai solnya lepas. Walaupun sepatu itu sudah pesiun, namun sepatu itu tetap saya simpan dan saya bawa sampai kuliah di Bandung.


Pertemanan, Kacamata Dan Kartu Basket

Saya juga mempunyai sahabat yang bernama Yohanes Basiha Siagian atau akrab dipanggil dengan nama Joey. 
Joey merupakan perpaduan yang unik antara ayah Batak dan ibu dari Amerika. Sedikit berbeda dari kawan-kawan yang lain, Joey memiliki ‘akses’ yang lebih terhadap dunia basket karena memang dia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Saya bersama Parulian Sitanggang, kawan kami yang lain, kerap bermain bahkan sampai menginap di rumahnya di Jalan Lamandau Blok M. Sebuah jarak yang cukup jauh dari Cempaka Putih mengingat usia saya yang masih belia pada saat itu.
Selain bisa bermain basket sepuasnya, karena Joey memang memiliki lapangan basket pribadi di belakang rumahnya, saya pun kerap membaca berbagai majalah basket terbitan luar negeri seperti majalah SLAM, Sports Illustrated, Becket dsb. 

Basketball Google yang masih saya simpan sampai hari ini

Kartu-kartu basket yang masih tersimpan rapih dalam album khusus
Pada saat itu penggunaan google (kacamata minus yang didesain khusus untuk basket) menjadi cita-cita yang mustahil yang hanya bisa diimpikan oleh saya yang berkacamata minus ini. Karena ‘akses lebih’ dari Joey Basiha inilah, saya bisa tampil bak  James Worthy, Horace Grant atau Kareem Abdul Jabar dengan menggunakan kacamata khusus basket ini.
Selain itu, Joey juga sukses meracuni saya dengan hobi baru. Yakni, mengumpulkan kartu basket. Setelah berkenalan dengan kartu basket, maka trayek saya menjadi lebih jauh lagi. Selain ke Senen (sekolah kami) dan ke jalan Lamandau, saya kerap pergi ke Mall Citra Land untuk membeli kartu basket.
Kartu-kartu basket itu saya dapatkan dari menyisihkan uang jajan dan transport saya. Sehingga, setiap hari sabtu, sepulang sekolah saya pasti berburu sebungkus kartu basket. Merk-merk seperti Upper Deck, Flairs, Tops, Finest, Hoops  dsb pun jadi akrab bagi saya. Pada waktu itu, memiliki kartu basket dengan gambar pemain basket terkenal bisa menghasilkan pendapatan tersendiri. Saya kerap beberapa kali menjual koleksi kartu-kartu saya dengan beberapa kawan. Dan uang hasil penjualan kartu itu saya tabung supaya bisa membeli kartu yang lain lagi. Jumlah koleksi kartu basket yang saya miliki mencapai jumlah ratusan. Dan seiring berjalannya waktu saya pun kerap menyortir kartu-kartu tersebut sehingga lambat-laun jumlahnya berkurang. Sampai hari ini, saya masih menyimpan satu album yang penuh berisi dengan kartu-kartu bergambar pemain NBA idola saya.

Pembicaraan saya dan Joey hampir tidak pernah lepas dari dunia basket. Bahkan kami sempat berangan-angan memiliki sekolah dengan system draft pick seperti di Amerika yang bisa memuluskan pemainnya sampai ke liga NBA. Namun hayalan tinggalah hayalan. Saya kini banting stir menjadi seorang seniman. Sebuah profesi yang kontras dari dunia olahraga. Sementara Joey Basiha menempuh jalan yang sangat jauh berbeda dengan saya. Beliau kini sukses menjadi kepala sekolah yang menyediakan pendidikan gratis bagi siswa-siswi di seluruh Indonesia yang berprestasi dalam bidang basket.


Cita-Cita Saya Pada Waktu Itu: Tampil Di Liga Kobatama

Menurut orang tua saya, sekolah ini merupakan SMA yang terbaik dari SMA-SMA PSKD lainnya. Maka saya pun melanjutkan jenjang pendidikan saya disana. Beberapa kawan seperti Rubein, Joey, Cyrus, Meiske dan beberapa kakak-kakak dari SMP 1 PSKD pun bersekolah di sekolah ini sehingga saya tidak begitu merasa asing dengan suasana baru di bangku SMA.
Beberapa kawan yang setiap hari bermain basket di lapangan Don Bosco Sunter pun menjadi pemain inti sekolah kami. Oleh sebab itu, karier basket saya di sekolah ini bisa dikata cukup cemerlang. Karena kemampuan saya sudah diketahui oleh beberapa senior, maka saya langsung ditarik sebagai pemain inti sekolah kami. Sebuah posisi yang cukup membanggakan bagi seorang siswa kelas 1 seperti saya.

Waktu itu ada seorang siswa kelas 2 yang berbadan besar, bertampang seram, berkulit hitam dan konon katanya, dia tidak beragama. Orang itu bernama Erwin Manik. Sebagai siswa kelas 2, dia sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya pada guru. Apalagi senior-seniornya kelas 3. Terkadang bahkan ia berlaku seolah-olah sebagai yang empunya sekolah. Bagi kami, siswa baru di sekolah itu, Erwin menjadi sosok yang cukup ditakuti.  Namun tak hanya dikenal akan keberingasannya di sekolah, Erwin merupakan siswa yang paling jago dalam bermain basket. Erwin pun mempunyai kawan-kawan yang bernama Petrus Panjaitan dan Julifin Sianturi. Sosok dan kelakuan mereka sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Erwin. Namun karena saya sudah terlebih dahulu kenal dengan mereka di lapangan Don Bosco, maka saya pun merasa sedikit ‘aman’ dari kedigdayaan begundal- begundal sekolah ini dengan kawan-kawannya. Tapi terkadang saya pun tidak luput dari ulahnya. Beberapa kali dia meneriakkan nama saya dari lapangan untuk sekedar bermain basket satu lawan satu. Saya yang sedang makan di kantin atau sedang bercengkrama dengan kawan-kawan, terpaksa harus turun dan meladeni tatangannya. Dalam setiap kompetisi antar SMA, Erwin Manik selalu tampil dengan totalitas penuh.  Tak hanya dalam mencetak skor, Erwin bahkan kerap beradu jotos dengan pemain lawan yang tidak bisa menerima kelakuan Erwin acap kali bermain kotor atau memaki-maki dalam bahasa Batak. 
  
Tim basket sekolah kami tidak pernah punya pelatih basket. Semua anggota tim berlatih sendiri secara otodidak baik itu di sekolah maupun di lingkungannya masing-masing. Pada kelas 2, beberapa kawan mengambil inisiatif untuk mendatangkan seorang pelatih basket guna membidani tim kami. Pelatih kami bernama : Opung Radja Simanungkalit. Pada saat itu, Opung merupakan pemain basket senior di liga Kobatama dan beliau adalah salah satu playmaker di club ASPAC. Klub nomor 1 di liga itu. Opung tidak lama melatih kami. Karena memang sekolah kami tidak mengalokasikan dana untuk membayar pelatih. Tapi dengan hadirnya Opung, saya dan kawan-kawan bisa menyaksikan Liga Kobatama secara gratis.

Selain tergabung dengan tim basket SMA, saya juga tergabung dengan beberapa tim lain di luar sekolah. Saya bermain untuk 2 tim gereja. GKI Kwitang dan HKBP Soeprapto. Selain itu saya juga cukup sering bermain sebagai pemain cabutan dari beberapa tim lain yang membutuhkan tenaga saya. Asal transportasi dan konsumsi tercukupi, saya pasti akan mencurahkan segenap kemampuan saya demi kemenangan tim tersebut.
Pada tahun 1998, saya sempat bergabung dengan tim Pelita Jaya Junior. Kiprah saya di club itu terhenti karena pecah kerusuhan Mei 98. Yang berujung pada keluarnya ‘fatwa’ dari orang tua saya untuk pergi ke daerah Senayan.









Tahun-tahun berganti. dan kami sudah menjelma menjadi pemain utama di tim sekolah. Namun tim basket kami sudah tidak sekuat dulu lagi. Bersama sahabat-sahabat saya seperti Rubein Novelino, Ronald Menrofa dan Jemmy Syukur, kami juga kerap mengikuti berbagai pertandingan basket yang pada masa itu menjadi trend di kalangan anak sebaya saya. 
Adidas Street Ball di Sarinah, menjadi awal kecanduan saya dalam mengikuti berbagai pertandingan. Rasanya hampir tidak ada pertandingan basket 3 on 3 yang tidak saya ikuti. Dan asal tau saja, nama tim saya sejak dulu adalah ‘Tequilla’ hehehe. Nama yang cukup seksi dan 'akrab' dengan keseharian saya saat ini.
Walaupun jarang menang, namun akses saya dalam dunia basket, perlahan semakin terbuka. Dari pertandingan-pertandingan itulah saya mulai mengenal nama-nama ‘bintang’ basket seperti Nyong, Agus Sigar, Teguh, Batam, Andre Tamara, Dimas ‘Mbot, Marcel, dan lain-lain.

Pada masa itu itu, hampir dalam tiap pertandingan 3on3 selalu ada ‘calo’ yang memasangkan berbagai pemain yang dianggap layak untuk digabungkan dalam satu tim. Biasanya tim bayaran ini memakai nama Borobudur. Dan dalam tiap pertandingan selalu saja ada tim yang benama Borobudur 1, Borobudur 2,3,4 dst. Saya pun pernah ditarik menjadi pemain Borobudur ini namun kalah ketika berhadapan dengan tim Borobudur lainnya. Rata-rata eks pemain Borobudur itu kini berkiprah di liga mahaiswa atau bahkan Kobatama (kini IBL).
Dulu, selain kompetisi 3on3 marak digelar, ada pula pertandingan 1on1. Karena saya memiliki postur yang cukup tinggi, maka saya pun kerap menjuarai beberapa pertandingan satu lawan satu ini.
Kecintaan saya terhadap bola basket pun semakin menjadi-jadi. Namun kali ini, urusan fashion dan kartu basket tidak lagi menjadi prioritas saya. Saya lebih berfokus untuk meningkatkan permainan agar kelak bisa mendapatkan beasiswa dari salah satu universitas dan setelah itu bisa bermain di liga mahasiswa dan akhirnya bisa bermain dan bekerja sebagai pemain basket professional di Liga Kobatama.


Antara Senirupa Dan Bola Basket

Memasuki tahun akhir saya di SMA, karier saya semakin cemerlang. Beberapa tawaran dari kampus-kampus pun berdatangan. Singkat kata, masa depan saya di dunia basket terasa dekat di depan mata. Tapi entah kenapa semua universitas yang menawarkan diri untuk merekrut saya dalam tim basketnya semuanya universitas ekonomi dan manajemen. Sementara saya sama sekali tidak pernah menaruh minat sedikitpun terhadap bidang-bidang tersebut.
Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya saya menyerahkan keputusan ke tangan ayah saya. Beliau berpendapat bahwa dunia olahraga bukan lah bidang yang sesuai untuk masa depan saya. Ditambah lagi saya sama sekali tidak memiliki mentalitas seorang atlet yang disiplin dan taat akan peraturan.



Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan saya di bidang seni rupa yang notabene sangat bertolak belakang dengan dunia olahraga, khususnya bola basket. Karena letak kampus yang berada di Kota Kembang, maka secara otomatis, kegiatan bermain basket semakin jarang karena selain mulai disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang terkadang menyita waktu sampai larut malam, jumlah lapangan di kota itu juga terbatas. Tidak sebanyak di Jakarta. Daya fisik saya juga perlahan-lahan menurun karena kebiasaan merokok dan begadang. Pernah suatu kali saya mendaftar di Club basket bernama Laconix , yang terletak di GOR Padjajaran. Sekedar mencoba untuk sekiranya masih bisa mengukir prestasi di basket. Tapi rupa-rupanya keadaan sudah tidak sama seperti masa SMA. Setiap selesai latihan, saya kerap tidak enak badan karena terlalu kelelahan. Tak sadar akan kondisi fisik yang sudah tak mumpuni, ‘side job’ sebagai pemain cabutan pun beberpa kali tetap saya lakukan. Walau di tiap pertandingan nafas selalu tersenggal-senggal, namun lumayan lah untuk sekedar menghemat uang makan siang.
Tapi tidak bisa dipungkiri, kehidupan baru di dunia perkuliahan lebih menggoda saya untuk terlibat dan larut di bidang kesenian sehingga karier basket saya pun perlahan-lahan meredup dan akhirnya selesai.

Saat ini saya tinggal di Jogjakarta bersama anak dan istri saya. Jauh dari hiruk pikuk dan gegap gempita basket. Anak-anak tetangga saya sudah tidak ada lagi yang bermain basket. Semua sibuk dengan futsal, sepakbola dan sebagainya. Entahlah. Mungkin dari tiap beberapa generasi punya euforia-nya sendiri. Tapi bagaimanapun sibuknya saya sehingga tidak ada waktu untuk sekedar bermain basket, namun kecintaan saya terhadap bola basket tidak pernah padam. Sampai saat ini saya masih menyempatkan diri untuk membuka youtube dan kembali terpukau oleh aksi-aksi para pemain NBA yang sudah tidak saya kenali lagi sambil mengenang berbagai kisah cinta saya terhadap bola basket yang pernah saya jalani dulu.

" Tinggi semakin makin tinggi kau melompat. Cepat semakin makin cepat kau melesat.
Masukkan bola sekarang ke dalam keranjang.. Dong nombok dong nombok dong.. "


Dalam sebuah sesi latihan semasa SMA