Selasa, 29 September 2015

Hari Hoax Nasional






Hoax/ Sebuah pemberitaan palsu, adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Salah satu contoh pemberitaan palsu yang paling umum adalah mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan barang/kejadian sejatinya. 


Mungkin karena terlalu sering menggunakan photoshop dalam berkarya, sehingga apapun yang saya posting atau bahkan yang saya tuliskan, terlanjur dianggap hoax oleh followers saya di sosial media. Bahkan beberapa kerabat dekat sampai keluarga saya juga kerap meragukan apapun yang saya sampaikan kepada mereka.
Tapi tentu saja, (gambar dan narasi) hoax yang saya hasilkan selama ini berbeda secara praktik dan tujuannya dengan segala macam hoax yang dilancarkan oleh saudara-saudara dari Piyungan dan Trio Macan, misalnya. Tapi bagaimanapun juga hoax adalah hoax. Apapun bentuknya itu.

Sama halnya dengan hal-hal lain yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak, saya rasa kita sebagai bangsa yang besar, perlu membuat satu hari agar dirayakan (diperingati) sebagai Hari Hoax Nasional. Dan waktu yang tepat untuk memperingati Hari Hoax Nasional adalah tanggal 1 Oktober. Ya, hari yang sama dengan Hari Kesaktian Pancasila yang setiap tahunnya digelar berbagai ritual (upacara)  guna mengenang wafatnya 7 pahlawan revolusi sekaligus mengikrarkan kebulatan tekad agar terus waspada akan berbagai bahaya laten yang mengancam kepentingan orang-orang tertentu di pemerintahan yang sudah merugikan negara demi kepentingannya sendiri.

Omong-omong, entah kenapa mereka malah mencantumkan kata 'kesaktian'. Yaa memang sih tidak bisa dipungkiri bahwa kita adalah bangsa penggemar klenik. Tapi ada sedikit rasa kurang nyaman di hati saya ketika harus mengakui dan mempercayai kesaktian dari sebuah paham atau ideologi yang menjadi dasar negara kita. Sebab bagi saya, kata sakti atau kesaktian itu kesannya lebih pantas bila disandangkan dengan praktik-praktik klenik dan ritual-ritual magis dari seorang dukun. Buat saya, kata kesaktian itu juga erat kaitannya dengan tokoh-tokoh fiksi superhero yang memiliki kemampuan supranatural diluar nalar.

Setelah reformasi, dan keruntuhan rezim Orde Baru, rangkaian peristiwa seputar 65 yang selama ini diselimuti kabut misteri, secara perlahan namun pasti mulai terungkap. Bahwa pada tanggal 1 Oktober, 50 tahun yang lalu, adalah hari dimulainya tahapan kudeta terhadap pemerintahan Soekarno dengan serangkaian hoax. Ya, hoax dengan skala dan efek yang jauh lebih besar dan dahsyat dari hoax-hoax yang saya atau saudara-saudara Piyungan itu pernah lakukan (da aku mah apa atuh..). Hoax yang mengakibatkan menurunnya populasi bangsa ini secara drastis dalam waktu singkat. Hoax yang membutakan hati nurani dan akal sehat selama puluhan tahun. Hoax yang menyebabkan bangsa kita terpuruk dalam belitan hutang luar negeri yang efeknya masih kita rasakan dengan jelas sampai hari ini. Tapi saya tidak akan berpanjang lebar perihal hoax tentang kesaktian mandra guna serta efeknya maha dahsyat itu dalam tulisan ini.

Intinya, kita tidak butuh embel-embel kesaktian atau ungkapan lebay lain untuk mempertahankan dasar dan ideologi negara. Itu malah hanya akan membuat kita terdengar semakin pandir. Hoax, bagaimanapun bentuknya, hanya akan bisa diretas dengan menggunakan nurani dan akal sehat. Apakah kita akan tetap merayakan hoax itu sembari berikrar untuk tetap membenci dan membasmi saudara-saudara kita sendiri sampai ke akar-akarnya? Ataukah kita akan mulai menggunakan hati nurani dan akal sehat untuk bergerak membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik? Nah! Selagi kamu memutuskan pilihan mu, ijinkan saya mengucapkan selamat Hari Hoax Nasional! Semoga Tuhan memberkati.







Yogyakarta, 30 September 2015


Agan Harahap
 

Sabtu, 12 September 2015

Noorderlicht Photo Festival @ Groningen, NL



"Well,.. I'm sorry sir. Your luggage must be somewhere around Guangzhou or Beijing. We'll promise your luggage will be at your hotel in 24 hours". Begitu ucapan mas-mas kemayu yang bertugas melayani urusan koper-koper yang tersesat seraya menutup pembicaraan.
Itulah kesan pengalaman pertama saya ketika pertama kali berkunjung ke Belanda. Maskapai Southern China nampaknya kurang sigap dan tanggap dalam menangani urusan bagasi pesawat. Setelah perjalanan yang hampir memakan waktu 24 jam, terpaksa saya harus bertahan dengan pakaian yang melekat di badan. Setelah urusan pendataan perihal koper yang hilang itu selesai, saya langsung bergegas keluar dari bandara Schipol untuk merokok.

Udara pagi itu cukup dingin menusuk tulang. Saya yang hanya berbekal selembar jacket tipis jelas cukup sulit untuk beradaptasi dengan iklim yang jauh berbeza dari negara saya. Setelah 2 batang rokok, saya pun kembali masuk ke bandara karena masih ada urusan yang belum selesai. Saya masih harus membeli tiket untuk segera menuju ke Groningen, 2 jam dari Amsterdam. Singkat kata, dengan berbekal jacket tipis dan tas kamera, akhirnya sampailah saya di kota Groningen. Kota kecil di utara Belanda tempat dilaksanakannya perhelatan akbar fotografi itu.

Sesampainya di hotel, saya langsung disambut Alexander Supartono, sang kurator yang rupaya sudah cemas menanti kedatangan saya. Dan berkat kebaikan hatinya pula, saya bisa mengganti kaus kaki yang sudah saya kenakan semenjak dari Jogja. Bayangkan saja, dari Jogja, saya ke Surabaya untuk mengambil visa, lalu langsung meneruskan perjalanan ke Jakarta dan akhirnya tiba di Belanda setelah 2x transit di China tanpa mengganti kaus kaki.

Buat saya, Groningen adalah tempat yang istimewa. Setelah pengalaman yang kurang mengenakkan perihal koper yang hilang, saya langsung disuguhi dengan pemandangan cityscape yang cantik dan wanita-wanita yang bersepeda dengan mengenakan celana pendek yang ketat. Dalam urusan celana ketat dalam berkendara, pemandangan seperti itu langsung mengingatkan saya terhadap Kemayoran. Tentu saja, Groningen tidak bisa disamakan dengan Kemayoran. Hahaha





Keesokan harinya, koper saya belum juga tiba di hotel. Alex yang baik hati pun meminjamkan t-shirtnya. Entah apa pulak kata istri saya ketika menyaksikan saya mengenakan t-shirt v-neck ketat berwarna oranye. Tapi saya tidak peduli. Setidaknya  kaos cerah itu terasa lebih nyaman dikenakan di badan ketimbang kaos yang sudah 3 hari melekat di badan saya. Groningen adalah kota kecil. Sebagian besar penduduk menggunakan sepeda untuk transportasi kesehariannya. Sementra saya, dan beberapa kawan lain yang tidak kebagian pinjaman sepeda, memutuskan untuk berkeliling kota dengan berjalan kaki. Sebetulnya saya sama sekali tidak keberatan dengan jalan kaki. Tapi mengingat hanya ada sepasang kaos kaki pinjaman yang tersedia, maka ada sedikit rasa gundah yang muncul di hati saya. Belum lagi sepatu yang saya kenakan sudah mulai menganga. Ahh.. Urusan koper yang tertinggal ini lama-lama jadi menjengkelkan. Malam harinya, sebelum pulang ke hotel, bersama Papa Shabani, seorang fotografer dari Uganda kami memutuskan untuk mengunjungi Noorderzon, sebuah festival performance art yang di adakan di sebuah taman di pinggiran kota.

Menjelang acara pembukaan, koper saya belum juga tiba. Padahal pihak panitia Noorderlicht Photo Festival sudah ikut campur tangan. Namun pihak bandara melemparkan tanggung jawabnya terhadap maskapai. Entahlah. Sementara kaos pinjaman berwarna cerah itu sudah mulai mengeluarkan aroma yang kurang sedap. Begitu pula halnya dengan kaos kaki. Akhirnya, dengan berat hati saya terpaksa harus membeli baju, boxer dan kaos kaki. Mencari pakaian yang sesuai dengan budget saya, tidaklah mudah. Setelah berkeliling beberapa blok, akhirnya saya menemukan juga toko pakaian yang murah meriah. Agak kesal juga ketika harus mengeluarkan uang membeli perlengkapan yang sebetulnya tidak perlu, mengingat persediaan saya selama beberapa hari ke depan sungguh terbatas. Tapi apa boleh buat, terpaksa juga saya mengeluarkan €50 untuk perintilan-perintilan yang 'penting' itu.

Hari memang masih terang benderang, namun jam sudah menunjukkan pukul 7 malam dan acara seremonial pembukaan festival itu berlangsung dengan meriah. Berkat beberapa botol bir dan wine yang dihidangkan di acara pembukaan, saya yang tadinya cukup berkecil hati karena urusan penampilan, akhirnya bisa turut larut dalam sukacita menyambut dibukanya perhelatan akbar fotografi itu. Jujur saja, Karya-karya fotografi dokumenter yang dipamerkan disana, membuat saya terkesima dan sekaligus merasa minder. Betapa tidak, sebagian dari mereka masih menggunakan kamera film dan tanpa editing photoshop. Memang 'perbedaan kasta' seperti ini kerap saya temui dalam beberapa pagelaran fotografi sebelumnya.  Tapi lagi-lagi, berkat beberapa botol bir dan wine, saya jadi tidak begitu mempedulikan lagi soal 'perbedaan kasta' itu. Malam itu kami akhiri dengan berbincang dengan sesama peserta festival di bar hotel.








Noorderlicht Photo Festival adalah salah satu perhelatan fotografi internasional terpenting di Eropa yang diikuti 76 fotografer dari 36 negara. Festival ini dibagi menjadi 3 bagian yang berlokasi di 2 tempat. Ruang pamer utama berlangsung di sebuah bekas pabrik gula yang berada di pinggiran kota Groningen, sementara saya dan beberapa fotografer lain berpameran di Noordelicht Photo Gallery yang berada di pusat kota. Dalam berpameran, saya biasanya tidak terlalu begitu bermasalah dalam urusan display. Namun kali ini berbeda, karena karya foto saya yang jumlahnya cukup banyak (100 karya), maka untuk menata foto-foto itu di tembok supaya terlihat apik, butuh ketekunan sendiri. Yak, hari pertama saya di Groningen, saya habiskan untuk mendisplay karya.

Beberapa saat sebelum kami check out, resepsionis hotel membawa kabar gembira, bahwa koper yang selama ini saya nantikan akhirnya datang juga. Setelah berbasa-basi sejenak, saya, Alex dan Mintio segera bergegas menuju Amsterdam. Sesampainya di Central Station, kami pun berpisah. Mintio tinggal di rumah kawannya, sementara saya menumpang tinggal di rumah kenalan Alex. Janneke dan Jacob De Jonge pasangan pensiunan kurator fotografi dan video dari Tropenmuseum. Rupa-rupanya sewaktu masih sibuk menyusun tesis untuk keperluan akademisnya, Alex pernah lama tinggal bersama keluarga yang baik hati ini.

Kunjungan di Amsterdam bukannya tanpa sebab. Karena saya masih harus mencari beberapa bahan untuk project kedepan yang akan saya jalankan bersama Alex. Maka hari-hari saya di kota itu disibukkan dengan berkunjung ke museum-museum dan perpustakaan-perpustakaan. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan terkait dengan kunjungan-kunjungan maha penting ini, karena project saya masih bersifat rahsia.



Untuk urusan kuliner, sebetulnya Amsterdam lebih menggoda. Namun, sebagai kota besar, harga makanan di kota ini pun bisa beberapa kali lipat ketimbang di Groningen. Bayangkan, untuk sebuah roti yang berisi dengan ikan harring, di Groningen bisa saya dapati dengan harga 3€ saja. Sementara di Amsterdam, untuk hidangan yang kurang lebih sama, saya harus merogoh 8€.
Kawasan turis di seputar Kanal ataupun di daerah dekat Rijks Musseum, banyak dipenuhi cafe-cafe dan restoran-restoran yang menghidangan berbagai macam hidangan mulai dari masakan Belanda, Mexico sampai Nepal. Saya pun tidak mau ketinggalan untuk mencicipi makanan di daerah itu. Dengan perut yang lapar sehabis berjalan kaki, saya langsung segera melangkahkan kaki ke restoran Burger King yang letaknya masih bersebelahan dengan restoran steak khas Argentina. Maklumlah, dengan kondisi yang serba nge-pas, saya harus berhemat supaya bisa membeli oleh-oleh buat anak dan istri di Indonesia.

Rumah Janneke dan Jacob yang saya tinggali berada di tengah kota Amsterdam, tidak jauh dari Central Station dan dikelilingi oleh kanal-kanal yang tampak serupa. Alhasil, saya pun terpaksa 2 kali tersesat di kawasan Keizerstracht dan Princenstracht. Namun tersesat di kawasan Central Station adalah pengalaman yang cukup berkesan untuk saya. Karena selain hujan lebat yang membuat baju dan jacket saya basah kuyup, ditambah kondisi sepatu yang sudah menganga, rupa-rupanya tempat tinggal saya bisa dikata cukup dekat dengan kawasan red light district. Selama ini saya berpikir bahwa 'lampu merah' hanyalah bahasa kiasan tertentu dalam menunjukkan lokasi prostitusi. Ternyata kawasan 'lampu merah' di Amsterdam adalah kawasan yang benar-benar dipenuhi dengan etalase-etalase dengan lampu-lampu yang berwarna merah. Alih-alih berisi dengan gadis-gadis kaukasian nan molek, saya malah melihat nenek-nenek dengan topeng dan latex khas BDSM. Takzim dan terkeseima akan pemandangan itu, namun beberapa jagoan lokal yang sudah nampak mabuk, memaksa saya menyudahi pemandangan itu dan mempercepat langkah untuk pulang. Selain red light district, Amsterdam pun terkenal akan coffee shop nya. Namun, selain saya tidak begitu suka 'hidangannya', kondisi keuangan yang semakin hari semakin memprihatinkan, membuat saya tidak bisa menikmati berbagai hidangan yang tersedia di 'warung kopi' itu. Bayangkan, untuk bisa menikmati 'hidangannya', saya harus merogoh 13 €, sementara bir sudah bisa dinikmati dengan hanya 2,5 € saja. Yaa maklumlah, dengan kondisi keuangan yang terbatas terpaksa memaksa saya untuk meredam segala keinginan-keinginan yang bergejolak dalam hati.

Jadwal kepulangan saya ke Indonesia adalah jam 4 sore waktu setempat. Namun karena pasangan Janneke dan Jacop ada keperluan, maka dari jam 9 pagi, saya sudah berpamitan dan meninggalkan kawasan Keizerstracht. Dengan tas yang penuh dengan oleh-oleh dan pakaian-pakaian yang belum dipakai, saya menuju restoran terdekat sekedar untuk menikmati pagi dan wanita-wanita yang bersepeda mengenakan celana ketat seraya membuang waktu sebelum menuju Schipol.