Selasa, 28 November 2017

CERITA HANTU






Waktu menunjukkan pukul 9 malam lebih sedikit. Musik dangdut yang mengalun syahdu dan aroma khas rokok kretek segera menyeruak ketika saya memasuki kelab dangdut di pinggiran kota ini. Kebetulan saya sedang menunggu kehadiran seorang teman di tempat itu. Entah alasan apa sang teman malah mengajak saya untuk meeting di tempat ini. Saya sengaja mengambil tempat agak di pinggir, sedikit terhalang oleh meja bar. Wajar saja, sebagai orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat yang bersahaja ini, saya tidak mau menjadi pusat perhatian. 

 “Abang mau minum apa bang..? Bir hitam apa bir putih?” Tanya seorang pelayan wanita berbadan gempal dengan pakaian serba ketat dan gincu tebal yang tiba-tiba saja muncul dari kegelapan. Sebauh tawaran yang biasanya sulit untuk daya tolak. Namun sayang, malam itu kebetulan maag saya sedang kambuh sehingga tidak selera untuk meminum bir. Sementara tempat semacam itu jelas tidak memungkinkan untuk memesan jus segar atau jahe hangat. Di sisi lain, saya juga tidak mau terlihat culun. Maka saya menanyakan jenis minuman apa lagi yang lebih keras dari bir. Karena menurut pengalaman saya, apapun yang lebih keras dari bir tentu volumenya jauh lebih sedikit. Sehingga cukup dengan segelas kecil saja maka saya tidak perlu tersiksa menghabiskan bir botol besar, sekaligus juga supaya gak kelihatan cupu-cupu amat. Sang pramusaji tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Seolah bisa membaca pikiran saya, dia pun permisi untuk mengambil minuman saya. 

Sembari menunggu pramusaji yang sedang mengambil minuman, sayapun mengalihkan pandangan kesekitar. Di atas panggung seorang biduan melantunkan lagu dangdut dengan irama yang mendayu-dayu. Di sekitar panggung, tampak beberapa lelaki yang berjoget sambil memejamkan mata. Mungkin lirik yang menyayat-nyayat itu tak jauh berbeda dengan kondisi yang harus mereka hadapi sehari-hari seperti stress akibat himpitan ekonomi, konflik rumah tangga, ah.. entahlah.. 
Sementara di pojokan tampak beberapa wanita paruh baya yang sedang sibuk mengobrol sambil sesekali memukuli nyamuk-nyamuk yang menggigiti paha mereka yang memang besar-besar. 

“Abanggg.. Ini minumannya abanggg..” Ujar pelayan tadi sambil tersenyum seraya mencampurkan sebotol Mansion House ukuran jumbo dan sebotol minuman energi kedalam sebuah teko plastik. Ya ampun.. Saya sudah salah pilih. Namun apa boleh buat, sekali layar terkembang, surut kita berpantang. 
Pelayan berambut pirang itu mengisi penuh gelas saya. Dan secara perlahan namun pasti saya pun terlarut dalam suasana. Jam sudah menunjukkan pukul 11, namun kawan yang dinanti tak jua kunjung tiba. Tempat itu semakin penuh. Musik yang tadinya mengalun syahdu kini berubah menjadi hingar bingar. Di atas panggung sang biduan semakin liar membawakan lagu-lagu hits dangdut kekinian dan orang-orang yang tadi berjoged pelan sambil memejamkan mata sudah berganti dengan sekelompok pemuda yang berjoget dengan penuh energi.


“Hey man, can I join you ?“ Tiba-tiba seorang turis bule menghampiri meja saya. Setelah saya mempersilakannya ia lalu menghempaskan badannya yang besar di sofa. Turis bule itu tidak banyak bicara. Ia hanya diam sambil menatap nanar ke arah panggung. 
“Hei mister.. Du yu want tu drink?” Tanya sang pelayan semok tadi setengah berteriak kepada sang turis yang duduk di sebelah saya. “Yes.. Same like that. And make it double!! ” ujar si bule seraya menunjuk ke teko saya yang isinya tinggal seperempat. 
Dan begitulah seperti yang sudah-sudah.. Alkohol dengan keajaibannya sendiri sukses membuat kami seperti kawan karib yang lama tidak bersua. Sang turis bule, sebut saja namanya Donald, rupa-rupanya baru saja menghadiri pembukaan pameran keris dan batu akik di sebuah padepokan yang letaknya tak jauh dari kelab malam ini. 
Dalam sekejap, campuran vodka Mansion House dan minuman energi sudah berpindah tempat ke dalam perut buncit si turis. Dan dengan sigap, sang pramusaji tadi segera menyuguhkan teko-teko lain ke meja kami. 



“Mulutpun bi bi bi bibibi bisu.. Lidahpun ke ke ke kekeke kelu..” 

Sekelompok pemuda yang dari tadi di depan panggung nampak menyanyikan bagian rap dari sebuah tembang lawas ‘Ini Rindu’ milik Farid Hardja. Mulai mabuk, turis bule itu pun mulai menggoyangkan kepalanya sambil melambai-lambaikan tangannya seperti seorang penyanyi hip hop. “I love this f*ckin song man!!  It’s reminds me of Intergalactic from Beastie Boys!!“ Ujar bule itu sambil berteriak sembari mengangkat tekonya ke udara. Entah sama siapa dan bagaimana pula bule ini bergaul, kok bisa-bisanya lagu ‘Ini Rindu’ disamakan dengan ‘Intergalactic’.. Tapi ya sudahlah. Saya yang juga sudah sedikit mabuk tidak mau memperpanjang dialog perihal literatur musikologi.


                


Teko-teko yang kosong, segera diisi dengan teko yang baru. Entahlah sudah berapa teko yang sudah kami habiskan pada malam yang berbahagia itu. Hari sudah berganti, namun keceriaan di tempat itu semakin membahana. Kawan yang saya nantikan tidak kunjung datang, sementara isteri saya sudah mulai mengirimkan pesan-pesan 'persuasif' di whatsapp. Nampaknya saya tidak bisa berlama-lama lagi di tempat ini ditambah lagi saya harus menempuh jarak yang lumayan jauh dengan motor pitung saya.  “Hey Donald, listen man, I have to go now. And don’t bring much money..” Ujar saya sedikit berbisik sembari menyodorkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan. Sebab jujur saja, dalam kondisi ekonomi seperti sekarang ini, tentu kebutuhan gizi kedua anak saya di rumah harus lebih diutamakan ketimbang bersenang-senang dengan turis asing ini. 
“Don’t worry. It’s on me man!! “ Ujarnya sambil tetap mengayun-ngayunkan teko plastik itu. 
Hmm baiklah. Karena Donald sudah berbaik hati, maka saya akan menemaninya sebentar lagi sambil menghabiskan sebatang rokok terakhir. Donald semakin aktif  berjoget mengikuti iringan musik yang berdentam. Perutnya yang besar berguncang-guncang mengikuti suara kendang. Ia berjoget dengan kikuk dan terkadang offbeat. 

'Ye tu hantuu.. Ye tu hantuu.. Bapaknya meninggal jadi hantuu..' 

Suara biduan yang terdengar lembut berpadu dengan irama housedut yang berdentam dengan kencang. Lagu ‘Ye Tuhantu’ yang dimainkan memang sedang hangat diperbincangkan di media sosial. Ya, tak kalah kontroversialnya dengan lagu ‘Lelaki Kardus’, lagu inilah yang kini menjadi buah bibir dimana-mana.

Dengan antusias berlebihan karena pengaruh alkohol, Donald bertanya kepada saya “Hey Agan.. What is hantu??”. “In bahasa, hantu is ghost.. Jawab saya singkat karena harus segera pulang. “Arghh!! Another awesome music man!!” So is this a song about the ghost?!? Tanyanya dengan penuh semangat. Baru saja saya hendak menjelaskan tentang pesan yang terkandung di dalam lagu ‘Ye Tuhantu’, Donald langsung memotong:
 “You know what man, Im a big fan of Misfits!! Hell yeahh!! 

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Donald langsung berlari ke arah panggung meninggalkan saya yang melongo keheranan. Dengan tinggi badan yang diatas rata-rata para pengunjung lain, Donald langsung saja menjadi pusat perhatian. Memasuki bait ke dua lagu tersebut, sang biduan tampak menarik tangan Donald untuk mengajaknya bernyanyi bersama di atas panggung.


Dan seperti orang yang sedang kesurupan, dia pun bernyanyi dan berjoget dengan penuh semangat. Suaranya yang keras dan sumbang ditambah dengan logat Inggrisnya yang kental, membuat lagu ‘Ye Tuhantu’ menjadi sulit didengarkan. Namun kelemahannya dalam mengolah vokal seolah tertutupi oleh aksi panggungnya yang membahana. Terkadang dia memeragakan gerakan air guitar dan terkadang malah melompat-lompat seperti sedang memerankan hantu dalam film-film horor Mandarin. Dan penontonpun tertawa senang. 
Waktu sudah menunjukkan pukul 2 lewat. Handphone saya bergetar, tanda ada sebuah pesan yang masuk. Awalnya saya mengira bahwa sms yang masuk jam segini paling hanya sms promo provider atau penipuan berbasis sms. Namun bukan, pesan itu hanya berisi satu kata yang bertuliskan: PULANG! Rupanya pesan yang sarat makna itu dikirim oleh istri saya yang memang belum tidur. Baiklah, nampaknya saya benar-benar harus menyudahi malam ini. 

Lagu 'Ye Tuhantu' masih terngiang-ngiang ketika saya memacu motor honda pitung saya membelah kegelapan malam kota ini..

Rabu, 01 November 2017

Di Bawah Naungan Atap Parkiran Motor


Hujan turun dengan derasnya sambil disertai angin badai dan petir yang menyambar-nyambar, persis setelah moderator menutup acara diskusi 'Peran Seni Kontemporer Dalam Merajut Tenun Kebangsan' malam itu. Amukan semesta membuat saya dan beberapa peserta lain yang rata-rata masih kuliah terpaksa harus tertahan di bawah atap parkiran motor yang tak seberapa besar. 

Seorang mahasiswa membuka percakapan demi menghangatkan suasana seraya menawarkan sebatang rokok menthol. Dan terjadilah dialog seperti yang terangkum dibawah ini:

Mahasiswa 1: Mas, jadi kalo menurut mas, karya seni yang bagus itu tuh seperti apa sih?

Saya: Karya seni yang bagus jaman now itu adalah karya seni yang sulit dipahami sama logika masyarakat umum. Semakin sulit dimengerti, artinya semakin bagus.

Mahasiswa 1: Maksudnya gimana mas? 
Saya: Itulah yang namanya kesenian adiluhung. Semakin berjarak dari pemahaman orang banyak, berarti semakin ekslusif karyanya. Dangdut itu jelas bukan seni karena terlalu merakyat. Tapi kalo musik jazz itu baru seni kelas atas. Adiluhung. Ngerti dong?

Mahasiswa 1,2,3 dan 4 : (Manggut-manggut dengan ragu) 

Mahasiswa 2: Kalo gitu caranya, masyarakat awam ga bisa dong menikmati karya-karya seni yang adiluhung itu?
Saya: Yaa Jelas. Sebab kepentingannya apa? Untuk makan besok aja masih mikir kok. Pake sok-sokan pengen nikmatin karya seni. 

Mahasiswa 3: Tapi kan sering tuh, banyak yang bilang kalo seni itu turut berperan dalam memajukan kebudayaan. Dan (konon katanya) seiring sejalan dalam gerak nafas masyarakat dan segala problematikanya?
Saya : Ah kata siapa? Itu kan cuma slogan aja biar kelihatan lebih berbudaya dan merakyat. Aslinya ya gak gitu. Udah ketinggalan jamanlah. Semakin terlihat intelektual, semakin spesifik dan ahirnya semakin berjarak sama logika dan kepentingan publik, itulah yang bagus! Kalo buat kamu, meme-meme kacangan itu aja udah cukup kok.

Mahasiswa 1: Tapi mas..
Saya: Bagi dululah rokokmu sebatang lagi please..
Mahasiswa 1: Yahh.. Abis bang

Saya merogoh kantong celana belakang dan puji Tuhan Alhamdulillah, ternyata kebiasaan saya dalam menyimpan puntung rokok di saku celana tidak sia-sia.
Mereka masih menatap saya dengan sejuta keraguan. Sementara saya membakar rokok puntung saya yang masih menyisakan kenikmatan dalam satu tarikan terakhir dan hujan pun reda.